WartaNTT.com, Ende - Kejelasan status lahan warga, pemukiman warga hingga komplek perkantoran yang masuk dalam kawasan hutan industri masih menyisakan polemik. Lokasi lahan warga, pemukiman dan komplek perkantoran tersebut berada di 6 Kelurahan di Kabupaten Ende yaitu Kelurahan Onekore, Kelurahan Paupire, Kelurahan Rewarangga Selatan, Kelurahan Kota Ratu, Kelurahan Kota Raja, Kelurahan Reworena, dan Kelurahan Reworena Barat. Kawasan hutan produksi ini ditetapkan dalam SK 357 Menlhk/setjen/PLA.0/6/2016 tanggal 14 Mei 2016.
Lantaran masih belum menemui titik terang, pihak GMNI Cabang Ende, HMI Cabang Ende bersama sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Onekore Menggugat melangsungkan aksi damai ke Kantor DPRD Ende.
Kedatangan massa aksi disambut oleh Wakil Ketua DPRD Ende Oktovianus Moa Mesi, Anggota DPRD Ende dari Gerindra Didimus Toki dan beberapa anggota DPRD Ende lainnya serta Kepala Dinas PUPR Kabupaten Ende Mustaqim Mberu.
Selaku perwakilan massa aksi, Yakob Madya Sui Sega yang merupakan Anggota GMNI Ende menyampaikan bahwa tujuan kedatangan massa aksi ke DPRD Ende adalah untuk menuntut keterlibatan DPRD Ende agar bisa ikut membantu dalam penyelesaian atas polemik lahan di 6 Kelurahan dalam Kota Ende yang saat ini masih tercatat sebagai kawasan hutan industri.
"Hal ini perlu diselesaikan karena masyarakat kesulitan untuk mengurus akta tanah atau untuk melakukan pinjaman ke bank," ujarnya di DPRD Ende, Senin 15 Mei 2023.
Menanggapi pernyataan dari massa aksi, Kadis PUPR Kabupaten Ende Mustaqim Mberu menegaskan bahwa pihak pemerintah daerah Kabupaten Ende tetap berada di pihak masyarakat.
"Dari Pemkab Ende sudah berupaya untuk memperjuangkan. Pada Desember 2021, kami sudah mengusulkan ke Provinsi untuk disampaikan ke pusat," katanya.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan bahwa saat perubahan tata ruang wilayah di Kabupaten Ende tengah berproses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Jadi saat ini statusnya menjadi holding zone, proses sudah berjalan. Dan diharapkan di tahun 2023 persoalan ini bisa terselesaikan," ujarnya.
Sementara Maximus Deki mengatakan bahwa persoalan status tanah di Onekore sudah terjadi sejak 2016.
"Saya sebagai wakil rakyat mendukung rakyat untuk bisa mendapatkan hak-haknya. Bisa dirasakan bahwa masyarakat yang berniat untuk menggadaikan sertifikat ke Bank tidak bisa dilakukan karena saat ini belum ada sertifikat tanah," kataya.
Maxi pun berjanji bahwa pihaknya akan melakukan cek dan ricek terkait perkembangan perubahan tata ruang di Kabupaten EndeEnde yang sudah diajukan ke pusat.
Selanjutnya Oktovianus Moa Mesi mengatakan bahwa DPRD Ende memintak epada pihak instansi terkait untuk terus mengawal proses perubahan tata ruang wilayah Kabupaten Ende.
"Perlu dilakukan kroscek kepada pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi NTT agar segera mempercepat Perda tata ruang agar bisa disinkronkan dengan Perda tata ruang yang sudah dibuat oleh pihak pemerintah Kabupaten Ende," katanya.
Dalam aksi tersebut, massa menyampaikan sejumlah tuntutan aksi di antaranya,
Pertama, mendesak Pemda Ende meninjau kembali SK 357 Kementerian/serta peta digital yang merekam wilayah kota 6 Kelurahan kabupaten Ende dan menetapkan status sebagai kawasan hutan produksi.
Kedua, Pemda Ende bersama pemerintah pusat segera mengeluarkan status kawasan hutan produksi dari pemukiman warga di 7 Kelurahan di Kab. Ende.
Ketiga, Menimbang bahwa akses masyarakat atas pengurusan sertifikat hak milik dan akses modal tidak dapat dilakukan, maka Pemda bertanggung jawab atas kerugian masyarakat
Keempat, GMNI dan HMI Cabang Ende mendesak segera memproses peninjauan kembali tata ruang wilayah agar tidak terkesan sedang membaik dan membiarkan masyarakat hidup dalam ketidakpastian.
Kelima, Apabila tuntutan ini tidak diindahkan maka masyarakat terdampak akan menduduki Kantor DPRD Ende dan Kantor Bupati Ende dalam waktu dekat. (FR)
KOMENTAR