Wartantt.com--SBD
Usia SD sering dianggap sebagai usia emas dalam kaitannya dengan pembentukan karakter dan kebiasaan. Sebab pada usia ini seorang anak masih seperti selembar kertas putih yang masih secara mudah bisa dibentuk dan diberi tulisan serta warna apapun.
Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang INOVASI melakukan intervensi programnya pada tingkatan sekolah dasar. Pandangan yang sama juga menjadi alasan Taman Bacaan Pelangi untuk melakukan pendampingan pengelolaan perpustakaan di dua sekolah dasar di Sumba Barat Daya yakni SDI Ndapataka dan SDI Poma.
Salah satu bentuk pendampingan oleh Taman Bacaan Pelangi kepada kedua sekolah dasar ini adalah dengan mengadakan pelatihan perpustakaan ramah anak dan lokakarya pengembangan kapasitas guru, kepala sekolah dan pustakawan yang dilaksanakan selama lima hari secara serempak di kedua sekolah ini.
Upan Thamrin, Projwct Coordinator Taman Bacaan Pelangi ketika ditemui disela sela kegiatan pelatihan di SDI Ndapataka membenarkan bahwa salah satu alasan menentukan pilihan untuk melakukan intervensi terhadap sekolah dasar adalah karena anak usia SD adalah anak yang masih mudah dibentuk.
Membangun perustakaan bukanlah sekedar membangun gedung dan meletakan buku di dalamnya. Namun lebih dari itu membangun kebiasaan anak anak dan rasa cinta mereka terhadap kegiatan membaca.
Hasil akhir dari kegiatan pendampingan oleh Taman Bacaan Pelangi dan INOVASI ini tentunya adalah supaya anak anak mencintai kegiatan membaca dan buku menjadi salah satu kebutuhan mereka.
Untuk membangun rasa cinta terhadap membaca ini tentu saja harus diciptakan suasana perpustakaan yang menarik dan menyenangkan bagi anak anak. Kondisi ini membuat anak anak merasa nyaman di perpustakaan. Perpustakaan bukan dilihat sebagai tempat belajar tetapi menjadi tempat bermain, sehingga anak anak menyenangi kebiasaan membaca baik di perpustakaan maupun di luar perpustakaan.
Di sinilah letak kelebihan konsep perpustakaan ramah anak. Di mana seluru aspek di perpustakaan itu cocok dan menarik untuk usia mereka. Mulai dari tata letak dan dekorasi ruang, tata letak rak buku, dan jenis jenis buku yang sesuai dengan usia anak anak.
Lebih lanjut Upan menggambarkan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya di sejumlah sekolah dasar yang ada si SBD, perpustakaan di sekolah tersebut masih jauh dari harapan sebagai perpustakaan yang ramah anak.
“Iya berdasarkan pengamatan, perpustakaan perpustakaan di sini belum ramah anak. Masih bersifat perpustakaan pada umumnya. Bahkan buku buku di perpustakaan itu banyak yang belum sesuai dan menarik untuk anak. Misalnya buku bukunya tebal dan tidak ada gambarnya. Buku seperti ini tentu membuat anak malas membacanya. Ini salah satu aspe saja. Masih banyak aspek lainnya lagi” katanya.
Selain menyelenggarakan pelatihan dan workshop tersebut Taman Bacaan Pelangi juga membantu mendekorasi ruangan perpustakaan dan menyiapkan buku buku yang sesuai dengan usia anak.
Kornelia Ina Kii Kepala SD Ndapataka ketika dikonfirmasi media ini mengapresiasi kegiatan workshop perpustakaan ramah anak tersebut.
Dirinya mengatakan bahwa pelatihan tersebut sangat baik bagi para guru dan puatakawan untuk mengetahui hal hal mendasar tentang perpustakaan yang ramah anak.
Dirinya mengakui bhwa selama ini pengelolaan perpuatakaan di SD Ndapataka belum sesuai dengan standar ramah anak .
“Selama ini kami tidak tau bahwa peruatakaan itu harus ramah anak dan ada konsep tentang perpustakaan ramah anak itu. Kami tidak pernah perhatikan permasalahan penjenjangan buku dan lain lain. Apalagi di perpustakaan itu lebih banyak disimpan buku buku pelajaran. Sementara buku bacaan yang lain jarang ada” katanya.
Dirinya bersyukur karena dengan pelatihan tersebut kompetensi guru ditingkatkan terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan perpuatakaan dan pemilihan buku buku yang ramah anak.
Diriny juga berterimakasih kepada INOVASI dan Taman Bacaan Pelangi yang telah menyelenggarakan program perpustakaan ramah anak tersebut. Beliau berkomitmen untuk mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh dalam pelatihan tersebut, dengan harapan agar minat baca anak terdongkrak sehingga membaca dan masuk perpustakaan bukan karena kewajiban tetapi karena keinginan dan kebutuhan anak sendiri. EB
KOMENTAR