PRABOWO Subianto masih juga menolak untuk mengaku kalah. Dengan tinggal delapan hari lagi jelang pengumuman resmi hasil Pilpres 2019 oleh KPU, prospek kemenangan Prabowo justru semakin tipis–bahkan mustahil. Sementara itu, pendukungnya terus menggelorakan “people power” jika hasilnya tidak sesuai keinginan mereka–semua ini adalah tindakan yang tidak terbayangkan akan terjadi di negara dengan demokrasi yang lebih matang, seperti Australia.
Oleh: James Massola (The Sydney Morning Herald)
Dalam waktu delapan hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan merilis hasil resmi pemilu presiden dan parlemen 2019.
Apa yang disebut “hitung cepat” oleh berbagai lembaga survei terkemuka yang dirilis sesaat setelah Pilpres 2019 pada 17 April lalu, semuanya menunjukkan Presiden Joko Widodo mengalahkan Prabowo Subianto dengan baik. Perkiraan margin bervariasi dari 8 hingga 10 persen.
Sekarang angka resmi sedang bergulir. Dengan 78,57 persen suara dihitung pada Senin (13/5) pagi, Jokowi menikmati keunggulan yang lebih besar lagi dengan 56 banding 44 persen suara dalam hitungan presiden.
Itu meningkat hampir dua kali lipat margin enam poin yang didapatkan Jokowi saat mengalahkan Prabowo pada Pilpres 2014.
Sejauh ini, 67,6 juta suara untuk Jokowi telah dihitung dibandingkan dengan 52,6 juta suara untuk Prabowo—perbedaan 15 juta suara.
Namun seperti halnya Pilpres 2014, Prabowo menolak untuk menerima hasil itu. Pada hari pemilu, dia menyatakan kemenangan dan mengklaim bahwa dia telah memenangkan 62 persen suara.
Dari sudut pandang Australia, hampir tidak dapat dibayangkan Scott Morrison atau Bill Shorten menolak untuk menerima deklarasi hasil resmi setelah pemungutan suara pada Sabtu (18/5) esok.
Tapi itulah yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Indonesia baru menjadi negara demokrasi selama 21 tahun, dan masyarakat telah mendukung demokrasi dengan sangat antusias—tingkat partisipasi dalam pemungutan suara pada 17 April lalu mencapai 80 persen.
Tetapi Prabowo dan tim kampanyenya sekarang menuduh kesalahan entri data di setidaknya 73.100 TPS. Mereka mengklaim bahwa 6,7 juta orang tidak mendapat undangan untuk memilih, dan petahana telah menggunakan alat negara untuk keuntungannya. Misalnya, dua pendukung Prabowo menghadapi dakwaan makar karena mengklaim hasil pemilu itu curang.
Protes kecil telah diadakan, termasuk satu protes di luar Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) pada Jumat (10/5) lalu. Demonstrasi yang lebih besar membayangi dengan seruan untuk protes “people power” yang datang dari para pendukung kubu Prabowo (meskipun bukan dari kandidat itu sendiri).
Tantangan terhadap hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi juga akan segera terjadi, seperti pada tahun 2014. Namun tantangan pada saat itu gagal dan prospek keberhasilan Prabowo lima tahun kemudian tampak sekali lagi tipis.
Dalam sebuah wawancara dengan The Sydney Morning Herald dan The Age Jumat (10/5) lalu, pasangan calon wakil presiden Prabowo Sandiaga Uno—mantan Wakil Gubernur Jakarta, dan menurut Forbes, salah satu orang terkaya di Indonesia—mengonfirmasi bahwa tantangan ke pengadilan masih tetap dipertimbangkan.
“Kita harus melihat argumen hukumnya,” katanya, seraya menambahkan bahwa akan sangat sulit bagi oposisi untuk mendapatkan pengadilan yang adil, dan menolak anggapan bahwa memperdebatkan hasil pemilu dapat merusak demokrasi Indonesia.
“Ini akan memperkuat demokrasi Indonesia karena kami memastikan bahwa pada pemilu berikutnya hal-hal seperti pelanggaran berat demokrasi, penggunaan aparatur negara, penyalahgunaan sumber daya negara, penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga penegak hukum, tidak akan terjadi lagi pada tahun 2024,” ujarnya.
“Apa yang dikatakan Prabowo adalah bahwa jika dakwaan pengaduan ini diperbaiki… dia akan menerima hasil pemilu. Tetapi jika tidak, maka berarti kita melakukan pemilu curang dan dia tidak akan—masyarakat Indonesia tidak akan—menerima pemilu curang.”
Setelah kinerja yang kuat selama kampanye Pilpres 2019, Sandi sekarang banyak disebut-sebut sebagai kandidat presiden pada tahun 2024—di mana Jokowi tidak akan bisa mencalonkan diri kembali.
Sandi tidak mau berbicara soal itu, dan mengatakan: “Saya telah belajar dalam tugas singkat saya dalam politik untuk tidak merencanakan terlalu jauh ke depan”.
“Yang pasti adalah bahwa saya akan terus menghabiskan waktu saya dengan masyarakat Indonesia.”
Pria 49 tahun yang berpendidikan di AS dan sopan ini, berada dalam saat-saat yang sulit. Dia harus terlihat mendukung Prabowo dalam periode pasca-pemilu ini, terutama jika dia menginginkan dukungan politik dari partai Gerindra Prabowo pada tahun 2024.
Tetapi Sandi juga berisiko merusak dirinya sendiri secara politis jika ia memprotes hasil pemilu terlalu keras, dan menyejajarkan dirinya terlalu dekat dengan protes Prabowo.
Yang jauh lebih jelas adalah masa depan bagi Prabowo, seorang mantan jenderal militer berusia 67 tahun yang telah lama merasakan bahwa sudah menjadi takdirnya untuk menjadi Presiden Indonesia.
Pada 22 Mei, ketika hasil pemilu diumumkan—kecuali adanya perubahan ajaib dalam penghitungan suara—dia akhirnya, dengan terhormat, harus mengakui kekalahan.
KOMENTAR