wartantt.com -- Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja, sedangkan hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah tidak adanya persamaan di dalam setiap kehidupan sosial, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya. Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan, sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh disuatu lini kehidupan. Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.
Bentuk Konflik.
Bentuk-bentuk konflik dalam masyarakat secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk yaitu:
1) Berdasarkan Sifatnya. konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktif dan konflik konstruktif. Konflik destruktif merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sampit, dan lain sebagainya. Sedangkan konflik konstruktif merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi.
2) Berdasarkan Posisi Pelaku. Dilihat dari posisi pelaku yang berkonflik, konflik ada 3 macam yaitu, konflik vertikal, Konflik horizontal, dan konflik diagonal, merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim.
Akibat Konflik.
Selama ini dalam pola pikir masyarakat Indonesia telah tertanam kuat bahwa konflik melahirkan dampak negative berupa kerusakan, keresahan, dan kesengsaraan. Padahal pemikiran tersebut tidak selamanya benar. Ada beberapa konflik yang justru melahirkan dampak positif, tetapi pada sisi yang lain juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak positif antara lain bertambah kuatnya rasa solidaritas anggota kelompok, memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau belum tuntas, memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai dan lain-lain. Sedangkan dampak negatif diantaranya, hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok, adanya perubahan kepribadian pada diri individu, hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia dan munculnya dominasi kelompok pemenang.
Formulasi Konflik Sosial ke Depan.
Jika dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang diberikan para pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan kelompok yang berkonflik, maka kecenderungan konflik sosial kedepan dapat berlangsung dalam beberapa variasi, yaitu:
- Gerakan sosial damai (peaceful collective action) yang berlangsung berupa aksi penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: “aksi korektif”, “mogok kerja”, “mogok makan”, dan “aksi-diam”. Dalam hal tidak ditemukan resolusi konflik yang memuaskan, maka aksi damai dapat dimungkinkan berkembang menjadi “aksi membuat gangguan umum” (strikes and civil disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara.
- Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings) adalah kegiatan yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas suatu isu tertentu. Derajat tekanan konflik kurang-lebih sama dengan pemogokan, biasanya skala bersifat lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup kemungkinan dapat meluas).
- Kerusuhan dan huru-hara (riots), adalah peningkatan derajat keberingasan (degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung sebagai reaksi massal atas suatu keresahan umum.
- Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan dengan baik. Pemberontakan bisa menyangkut perjuangan atas suatu kedaulatan atau mempertahankan “kawasan” termasuk eksistensi ideologi tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest, melainkan bisa diawali “di bawah tanah” sehingga tampak latent sifatnya.
- Aksi radikalisme-revolusioner (revolutions) adalah gerakan penentangan yang menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu ( terorisme dan radikalisme).
- Isu-isu kritikal yang membingkai konflik sosial dan dominan muncul kedepan di berbagai wilayah di Indonesia adalah Konflik antar kelas sosial (social class conflict) sebagaimana terjadi antara “kelas buruh” melawan “kelas majikan” dalam konflik hubungan-industrial, atau “kelas tuan tanah” melawan “kelas buruh-tani” dalam konflik agraria. Modes of production conflict (konflik moda produksi dalam perekonomian) yang berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodakan (cara-produksi) ekonomi peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsisten-sederhana) melawan para pelaku ekonomi bersendikan moral-ekonomi akumulasi profit dan eksploitatif. Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah konflik sosial yang berpusat pada isyu “claim dan reclaiming” penguasaan sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam banyak hal, konflik sumberdaya alam berimpitan dengan konflik agraria, dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak penguasaan tanah yang diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau kelompok sosial lain. Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna kulit dan atribut sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak yang berselisih dominan terjadi dan berpeluang menajam dimasa mendatang.Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena masing-masing pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada ajaran masing-masing agama yang dipeluk mereka. Konflik sektarian (sectarian conflict), adalah konflik yang dipicu oleh perbedaan pandangan atau ideologi yang dianut antar pihak. Konflik akan makin mempertajam perbedaan pandangan antar mazhab (seringkali pada ideologi yang sama). Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika olah kekuasaan (power exercise). Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut pandangan berbeda dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak mengusung kepentingan-kepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran sosial) yang berbeda dan saling berbenturan. Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan faktor sumberdaya kehidupan (sources of sustenance). Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang dilancarkan oleh komunitas atau masyarakat lokal untuk mempertahankan kawasan tempat mereka membina kehidupan selama ini. Konflik teritorial seringkali dijumpai di kawasan kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan & identitas sosio-budayanya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi & Papua)
Bentuk Pengendalian Konflik.
Regulasi penanganan konflik sosial telah diatur dan harus berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang tersebut telah dikeluarkan pula Inpres No 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri guna menjamin keterpaduan antar aparat pemerintah dan daerah dalam rangka menjamin stabilitas Kamtibmas. Selain itu pada era pemerintahan Jokowi-JK, telah pula dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012, guna mengoptimalkan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat dengan melibatkan TNI.
Beberapa bentuk pengendalian konflik antara lain :
Konsiliasi (conciliation) Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak. yang berlawanan mengenai persoalan persoalan yang mereka pertentangkan;
Mediasi (mediation) Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama sama sepakat untuk menyelesaikan pertentangan mereka;
Arbitrasi artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan dan
Perwasitan. Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka.
Penulis : Pengamat Sosial dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung
KOMENTAR