wartantt.com, OPINI – Ketika berbicara mengenai
Indonesia, perlu dipahami adanya keanekaragaman. Keanekaragaman ini
begitu kompleksnya, yakni misalnya agama, suku bangsa, bahasa, latar
belakang sosial, dan pendidikan. Dalam kaitan dengan agama, tidak
mengherankan ketika kita merujuk kepada golongan Muslim, terdapat aneka
aliran, mulai dari yang ketat–fundamental, tradisional-moderat, maupun
liberal. Ketika berbicara etnis, kita melihat golongan Tionghoa yang
masih mau mempertahankan tradisi dan ada yang mau melebur dalam
lingkungan setempat. Negara Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah
Muslim terbesar di dunia (207,000,105 jiwa), namun tidak menjadi negara
Islam.
Bagi saya pribadi, pilihan para pendiri bangsa ini menarik dan pantas dianggap sebagai keunikan identitas. Namun belakangan, penulis terganggu dengan adanya masalah yang muncul akibat fanatisme dan toleransi. Penulis tertarik bagian yang mengangkat ambiguitas respon masyarakat Islam Indonesia terhadap fakta heterogenitas budaya dan agama yang ternyata berakar sejak mula kedatangan Islam.
Islam hadir di Indonesia sejak abad ke-13 di saat menurunnya dinasti kerajaan Hindu / Budha. Sebelum Islam hadir, sudah ada agama dan kebudayaan lain yang berkembang pesat. Sejak Islam hadir sampai sekarang, terdapat respon penerimaan dan penolakan yang dihasilkan akibat perjumpaan Islam dengan penganut agama dan kebudayaan lain. Dalam kenyataan, meski masyarakat Islam Nusantara cenderung menunjukkan keterbukaan budaya, ada jaringan yang resisten, tidak berkesinambungan dan sistematis, dan sewaktu-waktu dapat terjadi goncangan pula yang brutal.
Pada waktu tulisan ini ditulis, perkelahian warga Islam-Kristen di Makassar terjadi (14 September 2011). Selain itu, sebuah gereja Kristen (Gereja Bethel Injil Sepenuh) di Solo dibom oleh seseorang yang terlibat jaringan teroris (25 September 2011). Republik Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam negara yang secara legal-konstitusional mengakui keanekaragaman atau pluralitas masih saja dapat mentalitas resistensi atau penolakan. Tulisan ini ingin menunjukkan akar dan sejarah sikap fanatisme dan toleransi di Indonesia.
Muslim Indonesia mayoritas adalah aliran Safii, namun ada pula aliran Ahmadiyah, Syi’ah, mazhab Wahabi, dan Hanafi. Pada kurun abad ke-15-16, para umat Islam ortodoks berusaha memurnikan ajaran agama dari takhyul dan kekafiran. Tokoh penting masa ini ialah para wali songo. Pada abad ke-17-18 kaum bangsawan mulai membangun asimilasi dengan Islam. Tokoh zaman ini ialah Sultan Agung yang di sisi lain dianggap amat kuat menganut sinkretisme. Islam harus menyesuaikan diri dengan konsep raja sebagai poros dunia atau menerima pemujaan terhadap ’Nyi Roro Kidul’ yang melegenda di tanah Yogyakarta. Contoh sinkretisme lain bisa dilihat dalam struktur arsitektural/ tata kota di Kraton Yogyakarta, dimana ada konsep kosmologi kuno sekaligus masjid Agung.
Pada abad ke-19 muncul banyak mahasiswa yang dikirim untuk belajar agama di Mekkah. Sepulang dari sana mereka gencar mengganti hukum adat dengan hukum Islam dan menentang takhyul dan paganisme. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua aliran Islam terbesar di Indonesia lahir pada masa ini. Keduanya dikenal sebagai penjaga gawang wajah Islam Indonesia yang menawarkan jalan damai, moderat, terbuka, dan solider dengan kaum Nasarani, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Perpisahan Islam dengan aliran kepercayaan (takhyul, animisme, dinamisme) adalah bentuk penegakan ajaran agama. Islam yang diangkat di sini Islam yang menjati diri, mencoba melakukan pembersihan atau pemurnian Islam dari hal-hal yang dianggap musyrik. Dalam sejarah Eropa, peristiwa ini bisa disejajarkan dengan inkwisisi Gereja Katolik pada abad ke-15-16. Segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran iman patut dibuang. Berkaitan dengan itu, ada tegangan antara sikap mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) dengan keinginan untuk mengamalkan ajaran Islam. Islam diterima sebagai agama dan pegangan hidup, tetapi Islam-Jawa masih merasa memiliki sesuatu yang dianggap berharga. Islam dan kepercayaan lokal di Jawa atau di daerah lain saling mengapropriasi diri dan menemukan bentuk yang unik.
Kehadiran para wali pada abad ke-14-16 berperan penting dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam menghargai perbedaan dengan komunitas agama lain. Mereka memiliki misi penyebaran yang dilakukan dengan damai dan pendekatan kultural. Hal ini membentuk wajah Muslim Indonesia menjadi terbuka, mampu menyesuaikan diri dengan tradisi lokal. Cara dakwah para wali justru memakai unsur tradisional seperti Macapat dan Wayang dengan muatan-muatan ajaran Islam dan tanpa paksaan sama sekali.
Kedatangan bangsa Barat di Indonesia juga menjadi akar penerimaan dan intoleransi. Dalam arti tertentu Bangsa Barat (misalnya Belanda) diterima dan turut berperan dalam perkenalan dengan modernisasi, keterbukaan terhadap aliran pemikiran filsuf Eropa, teknologi pencetakan, pertambangan, perhubungan, perkebunan, dan dunia pendidikan. Tidak seluruh peninggalan Belanda adalah kita anggap sebagai aib.
Namun, bagi orang Indonesia, bangsa Barat lebih pas disebut sebagai penjajah, kolonial, imperialis. Untuk mengobarkan semangat melawan penjajah barangkali identifikasi Barat sebagai orang kafir bisa menjadi motivasi perjuangan. Namun, sesudah Indonesia merdeka, label ‘kafir’ ini dilekatkan kepada golongan Kristiani. Dengan demikian, ada pembelokan pemahaman. Pada masanya, memang muncul motivasi penginjilan yang dibawa serta dalam kolonialisme-imperialisme bangsa Eropa, yakni motivasi Gospel, Gold, Glory. Maka, penginjilan atau Kristenisasi dilaksanakan dalam satu kesatuan ‘paket’ dengan penjajahan. Namun, ketika agama sudah diterima dan mengakar kepada manusia dan kebudayaan setempat, bukankah motivasi ini sama sekali lain. Konstitusi menjamin setiap agama melaksanakan ibadah sesuai kepercayaannya, memperoleh hak yang sama dalam hukum, pendidikan, kesehatan, menyampaikan pendapat. Akan tetapi, ketika terjadi kebakaran di Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, saya masih mendapati seruan untuk tidak menerima bantuan dari kaum Kristiani. Alasan yang lazim disajikan ialah : Kristenisasi. Dalam tataran pemikiran, tokoh pembaharuan Islam seperti KH Nurcholis Madjid yang terkenal dengan ide sekularisme, liberalisme, dan pluralisme sejak tahun 1973 menuai kritik bahwa ia ‘kebarat-baratan’. Ada logika yang tidak lurus yang saya temukan dari penarikan kesimpulan secara asal-asalan semacam ini.
Ada suatu entitas kebudayaan lain yang menjadi bagian Indonesia namun sampai beberapa tahun lalu masih berstatus menggantung, yakni Etnis Cina. Kedatangan orang-orang Cina di Nusantara dalam kurun lama telah memperkuat jalur perniagaan dan memberikan sumbangan kebudayaan. Pada abad ke-17 mereka mengelola tata usaha sultan para dan mengurus perdagangan lada, menjadi syahbandar atau pengelola tanah baru. Mereka ada yang melebur dan menjadi muslim pula. Kerusuhan besar terjadi saat tahun 1740 di Jakarta ketika Belanda takut kalah dalam persaingan. Sesudah pembunuhan besar–besaran ini, muncul masa damai kembali ada keinginan asimilasi dari Etnis Cina. Akan tetapi alergi anti Cina yang diwariskan oleh Kolonialis Belanda masih kembali marak di kalangan pribumi.
Saat itu Etnis Cina memang menguasai monopoli pengendalian Bandar-Bandar Mataram, mendapat lisensi candu dari Belanda, dan kuat dalam jaringan pajak di seluruh Jawa. Mulai ada sikap-sikap yang membuat mereka dibenci oleh pribumi. Sesudah Belanda diusir dari Indonesia, kaum Cina menghadapi kesulitan perihal kewarganegaraan dan pemutusan jaringan Cina di desa. Kerusuhan anti Cina marak akibat nasionalisasi. Sesudah goncangan komunisme, mulai tahun 1966 mereka diasimilasikan ke dalam agama lain (mayoritas Kristiani) serta dilarang memakai identitas dan persekolahan Cina.
Seorang teman saya menuturkan bahwa ia sejak lahir telah dikenai tiga stigma atau ‘dosa asal’, yakni karena ia ‘keturunan Cina, Kristen, dan perempuan’. Maka, dalam kehidupan bermasyarakat ia pun tidak leluasa untuk berlaku normal karena sudah dianggap ‘tidak normal’.
Kedatangan bangsa Cina berlatar belakang perniagaan. Perniagaan ini bersilangan dengan institusi politis, baik pemerintah kolonial, VOC, maupun penguasa setempat (Sultan). Peran mereka dalam ekonomi Indonesia amat kuat. Ironisnya, karena mereka dianggap lemah secara kuantitas dan kedudukan politis, ketika ada kecemburuan ekonomi, maka secara ‘terorganisir’, muncul politik kambing hitam dan adu domba sebagaimana terlihat dalam pembantaian Cina Batavia (1740) dan kerusuhan Mei 1998.
Penyesuaian dengan pribumi bukan perkara yang mudah. Kalau suku – suku lain diterima secara mudah, maka berbeda dengan penerimaan terhadap Cina. Cina, meskipun sudah sedemikian lahir, besar, tinggal, berbahasa, berpakaian ala Indonesia tetap saja dinilai sebagai ’yang asing.’ Penelitian yang dilakukan Rizal Bahrun mengungkapkan bahwa dalam diri etnis Cina Indonesia terdapat sebuah dilema psikologis. Di satu pihak, mereka mencintai tanah air Indonesia, tetapi di lain pihak, mereka merasa ditolak. Ada perasaan kuat yang mendorong untuk tinggal di Indonesia, tetapi ada juga perasaan untuk ke luar dari Indonesia.
Posisi lemah etnis Cina adalah bahwa mereka tidak memiliki domain kultural atau wilayah geografis kesukuan. Lain halnya dengan suku Jawa, Bali, Batak, Toraja, Dayak yang masih memiliki basis tempat kebudayaan di Indonesia yakni di Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Sulawesi, dan Pulau Kalimantan. Kesukuan asal Indonesia bukan jaminan atas mentalitas kualitas keindonesiaan seseorang. Sejarah nasional membuktikan bahwa perwakilan Golongan Cina sudah masuk dalam perumusan Sumpah Pemuda dan Naskah UUD 1945.
Ada tiga hubungan antara Islam dengan kebudayaan lain: aliran keagamaan lokal, golongan Kristiani dan Barat, dan kaum Cina. Islam sebagai mayoritas berperan sentral dalam menentukan wajah keindonesiaan. Kesamaan yang terjadi di antara ketiga entitas kebudayaan lain tersebut (Islam dengan kebudayaan Indonesia asli-dengan Barat-dengan Etnis Cina) adalah sama-sama berada dalam tegangan untuk mempertahankan identitas sekaligus mau membuka diri kepada unsur luar. Penulis beranggapan bahwa sampai saat ini keduanya mewakili wajah Indonesia.
Keindonesiaan merupakan suatu hasil gerak dinamis dari pertemuan kaum Nusantara dengan peradaban-peradaban luar. Tanggapan kaum Islam, sebagai komunitas terbesar Indonesia amat beragam dan membentuk cara pandang terbesar bagi seluruh Indonesia. Pergolakan yang terjadi di Nusantara dewasa ini (kerusuhan antar etnis, sentimen anti Cina, marginalisasi aliran Ahmadiyah di Cikeusik, konflik Kristen-Muslim) berhubungan dengan suatu respon terhadap keberlainan.
Diferensiasi budaya dan agama adalah suatu fakta yang tidak bisa diubah. Tindakan anarki terhadap diferensiasi adalah pengingkaran keindonesiaan, sebab memberi penolakan atas kebhinekaan. Yang berbeda dilihat sebagai yang lain dan tidak bisa ditundukkan ke dalam caraku. Yang lain memiliki dimensi keunikannya sendiri yang khas, unik, tidak bisa disamaratakan. Hanya dalam pengakuan identitas kultural dan keunikan ras, agama, baik secara individual maupun kolektif, manusia dapat menjadi dirinya sendiri.
Kekhasan Islam Indonesia dengan demikian ada pada proses inkulturasinya. Maka, watak Muslim Indonesia amat khas sifatnya. NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi pilar yang diharapkan sebagai penjaga atau melindungi negara yang plural ini.
Sebagai gerak dinamis, keindonesiaan masih terus bergerak dan secara kreatif maupun resisten dalam menghadapi persilangan budaya-budaya baru. Memang, bisa dikatakan demikianlah pola keindonesiaan itu. Jika dikaitkan dengan idea Bhinneka Tunggal Ika, maka sikap yang paling tepat ialah menjaga pluralisme. Transformasi yang ada dengan demikian selalu bercorak pluralistik.
Peran pemimpin agama mayoritas amat dibutuhkan untuk menumbuhkan sense of minority kepada para anggotanya. Tentu tak lupa kesadaran hidup kaum minoritas di tengah mayoritas Muslim juga sewajarnya menjadi bagian integral dari hidup bermasyarakat. Inilah sikap dan mentalitas khas Indonesia yang bisa dibanggakan di dunia internasional maupun ke dalam bangsa sendiri.
Membangun Indonesia tidak hanya soal membangun gedung baru DPR, membangun wisma atlet, membangun sekolah RSBI, membangun rumah korban gempa dan letusan gunung tetapi juga berarti membangun mentalitas toleran. Jika ini dimiliki dan menjadi gerak para pemuka agama, maka bangsa ini akan dijauhkan dari masalah konflik horisontal. Kerukunan hidup beragama berdampak penting pada lancarnya pembangunan, peningkatan kesejahteraan, dan pendidikan. Sebab, bagaimana mungkin membangun jika tidak ada situasi kondusif ? Bagaimana bisa saling bekerjasama jika mentalitasnya bercorak eksklusif dan intoleran ?
Ketika mengaitkan fakta bahwa kita tinggal di negara demokrasi, terlihat bahwa pluralisme – lah yang mendorong demokrasi. Pluralisme adalah anak kandung dari demokrasi. Sejarah dan cara kita hadir di bumi Indonesia ini dibentuk dalam pluralitas. Hal ini sudah timbul sejak nenek moyang kita dan ditegaskan secara konstitutif oleh para Bapak Kemerdekaan. Pluralisme menjadi peluang untuk saling mengenal, berdialog, memahami, dan bekerja bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dukungan pemerintah dalam mewujudkan ide toleransi adalah cara terbaik pemeritah kita dalam menjadi Indonesia. Kita bisa toleran pada perbedaan budaya dan agama, tapi tidak bisa toleran kepada krisis moral, korupsi, mafia hukum, dan ketidakadilan sosial. Setiap kasus yang berbau agama perlu ditindaklanjuti secara serius. Jaminan kebebasan beragama juga harus nampak dalam kuota penerimaan pegawai, keadilan mendapat tunjangan, hak mendirikan usaha, dan penerimaan jumlah siswa di sekolah negeri dengan tidak memandang status agama.
Menjadi betah di tanah air sendiri, itulah kerinduan sanubari seluruh warga Indonesia apapun agamanya. Kita perlu belajar dari masa lampau untuk masa depan, untuk melestarikan keragaman bangsa yang besar. Penulis mendukung usaha kaum Muslim, khususnya para penggiat inklusivisme, untuk menjadi penjaga gawang pluralisme Indonesia. Gagasan jernih keislaman dan kebangsaan yang diusung alm. Prof Nurcholis Madjid, alm KH Abdurrahman Wahid, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, atau dalam perspektif kekristenan dan kebangsaan yang diusung Pastor Prof. Franz Magnis-Suseno, dan alm. Pastor Mangunwijaya, dan perspektif Tionghoa dan keindonesiaan yang diangkat budayawan Dr. Sindhunata, politikus Harry Tjan Silalahi, sinolog UI alm. Dr. I. Wibowo, alm. Dr. Lie Tek Tjeng, adalah penggalian nilai luhur keindonesiaan. Minoritas dan mayoritas sama-sama memajukan gagasan keindonesiaan yang berkualitas sebab pada dasarnya ‘embrio’ Indonesia adalah keanekaragaman. Islam hadir sebagai kekayaan religius, budaya, sosial, ekonomi, politis di Indonesia. Tanpa gerak aktif mereka, Indonesia tidak lahir. Demikian pula saat ini tanpa toleransi mereka, Indonesia tidak akan menjadi damai. Islam di Indonesia ini tidak hanya diamalkan sebagai ritual, tapi substansinya menginspirasikan ekspresi sosio-kultural. Diantara dua pilihan, fanatisme atau toleransi, pilihan toleransi itulah hakikat keberanian menjadi Indonesia.
Oleh: Surya Awangga
Bagi saya pribadi, pilihan para pendiri bangsa ini menarik dan pantas dianggap sebagai keunikan identitas. Namun belakangan, penulis terganggu dengan adanya masalah yang muncul akibat fanatisme dan toleransi. Penulis tertarik bagian yang mengangkat ambiguitas respon masyarakat Islam Indonesia terhadap fakta heterogenitas budaya dan agama yang ternyata berakar sejak mula kedatangan Islam.
Islam hadir di Indonesia sejak abad ke-13 di saat menurunnya dinasti kerajaan Hindu / Budha. Sebelum Islam hadir, sudah ada agama dan kebudayaan lain yang berkembang pesat. Sejak Islam hadir sampai sekarang, terdapat respon penerimaan dan penolakan yang dihasilkan akibat perjumpaan Islam dengan penganut agama dan kebudayaan lain. Dalam kenyataan, meski masyarakat Islam Nusantara cenderung menunjukkan keterbukaan budaya, ada jaringan yang resisten, tidak berkesinambungan dan sistematis, dan sewaktu-waktu dapat terjadi goncangan pula yang brutal.
Pada waktu tulisan ini ditulis, perkelahian warga Islam-Kristen di Makassar terjadi (14 September 2011). Selain itu, sebuah gereja Kristen (Gereja Bethel Injil Sepenuh) di Solo dibom oleh seseorang yang terlibat jaringan teroris (25 September 2011). Republik Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam negara yang secara legal-konstitusional mengakui keanekaragaman atau pluralitas masih saja dapat mentalitas resistensi atau penolakan. Tulisan ini ingin menunjukkan akar dan sejarah sikap fanatisme dan toleransi di Indonesia.
Muslim Indonesia mayoritas adalah aliran Safii, namun ada pula aliran Ahmadiyah, Syi’ah, mazhab Wahabi, dan Hanafi. Pada kurun abad ke-15-16, para umat Islam ortodoks berusaha memurnikan ajaran agama dari takhyul dan kekafiran. Tokoh penting masa ini ialah para wali songo. Pada abad ke-17-18 kaum bangsawan mulai membangun asimilasi dengan Islam. Tokoh zaman ini ialah Sultan Agung yang di sisi lain dianggap amat kuat menganut sinkretisme. Islam harus menyesuaikan diri dengan konsep raja sebagai poros dunia atau menerima pemujaan terhadap ’Nyi Roro Kidul’ yang melegenda di tanah Yogyakarta. Contoh sinkretisme lain bisa dilihat dalam struktur arsitektural/ tata kota di Kraton Yogyakarta, dimana ada konsep kosmologi kuno sekaligus masjid Agung.
Pada abad ke-19 muncul banyak mahasiswa yang dikirim untuk belajar agama di Mekkah. Sepulang dari sana mereka gencar mengganti hukum adat dengan hukum Islam dan menentang takhyul dan paganisme. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua aliran Islam terbesar di Indonesia lahir pada masa ini. Keduanya dikenal sebagai penjaga gawang wajah Islam Indonesia yang menawarkan jalan damai, moderat, terbuka, dan solider dengan kaum Nasarani, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Perpisahan Islam dengan aliran kepercayaan (takhyul, animisme, dinamisme) adalah bentuk penegakan ajaran agama. Islam yang diangkat di sini Islam yang menjati diri, mencoba melakukan pembersihan atau pemurnian Islam dari hal-hal yang dianggap musyrik. Dalam sejarah Eropa, peristiwa ini bisa disejajarkan dengan inkwisisi Gereja Katolik pada abad ke-15-16. Segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran iman patut dibuang. Berkaitan dengan itu, ada tegangan antara sikap mempertahankan kearifan lokal (local wisdom) dengan keinginan untuk mengamalkan ajaran Islam. Islam diterima sebagai agama dan pegangan hidup, tetapi Islam-Jawa masih merasa memiliki sesuatu yang dianggap berharga. Islam dan kepercayaan lokal di Jawa atau di daerah lain saling mengapropriasi diri dan menemukan bentuk yang unik.
Kehadiran para wali pada abad ke-14-16 berperan penting dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam menghargai perbedaan dengan komunitas agama lain. Mereka memiliki misi penyebaran yang dilakukan dengan damai dan pendekatan kultural. Hal ini membentuk wajah Muslim Indonesia menjadi terbuka, mampu menyesuaikan diri dengan tradisi lokal. Cara dakwah para wali justru memakai unsur tradisional seperti Macapat dan Wayang dengan muatan-muatan ajaran Islam dan tanpa paksaan sama sekali.
Kedatangan bangsa Barat di Indonesia juga menjadi akar penerimaan dan intoleransi. Dalam arti tertentu Bangsa Barat (misalnya Belanda) diterima dan turut berperan dalam perkenalan dengan modernisasi, keterbukaan terhadap aliran pemikiran filsuf Eropa, teknologi pencetakan, pertambangan, perhubungan, perkebunan, dan dunia pendidikan. Tidak seluruh peninggalan Belanda adalah kita anggap sebagai aib.
Namun, bagi orang Indonesia, bangsa Barat lebih pas disebut sebagai penjajah, kolonial, imperialis. Untuk mengobarkan semangat melawan penjajah barangkali identifikasi Barat sebagai orang kafir bisa menjadi motivasi perjuangan. Namun, sesudah Indonesia merdeka, label ‘kafir’ ini dilekatkan kepada golongan Kristiani. Dengan demikian, ada pembelokan pemahaman. Pada masanya, memang muncul motivasi penginjilan yang dibawa serta dalam kolonialisme-imperialisme bangsa Eropa, yakni motivasi Gospel, Gold, Glory. Maka, penginjilan atau Kristenisasi dilaksanakan dalam satu kesatuan ‘paket’ dengan penjajahan. Namun, ketika agama sudah diterima dan mengakar kepada manusia dan kebudayaan setempat, bukankah motivasi ini sama sekali lain. Konstitusi menjamin setiap agama melaksanakan ibadah sesuai kepercayaannya, memperoleh hak yang sama dalam hukum, pendidikan, kesehatan, menyampaikan pendapat. Akan tetapi, ketika terjadi kebakaran di Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, saya masih mendapati seruan untuk tidak menerima bantuan dari kaum Kristiani. Alasan yang lazim disajikan ialah : Kristenisasi. Dalam tataran pemikiran, tokoh pembaharuan Islam seperti KH Nurcholis Madjid yang terkenal dengan ide sekularisme, liberalisme, dan pluralisme sejak tahun 1973 menuai kritik bahwa ia ‘kebarat-baratan’. Ada logika yang tidak lurus yang saya temukan dari penarikan kesimpulan secara asal-asalan semacam ini.
Ada suatu entitas kebudayaan lain yang menjadi bagian Indonesia namun sampai beberapa tahun lalu masih berstatus menggantung, yakni Etnis Cina. Kedatangan orang-orang Cina di Nusantara dalam kurun lama telah memperkuat jalur perniagaan dan memberikan sumbangan kebudayaan. Pada abad ke-17 mereka mengelola tata usaha sultan para dan mengurus perdagangan lada, menjadi syahbandar atau pengelola tanah baru. Mereka ada yang melebur dan menjadi muslim pula. Kerusuhan besar terjadi saat tahun 1740 di Jakarta ketika Belanda takut kalah dalam persaingan. Sesudah pembunuhan besar–besaran ini, muncul masa damai kembali ada keinginan asimilasi dari Etnis Cina. Akan tetapi alergi anti Cina yang diwariskan oleh Kolonialis Belanda masih kembali marak di kalangan pribumi.
Saat itu Etnis Cina memang menguasai monopoli pengendalian Bandar-Bandar Mataram, mendapat lisensi candu dari Belanda, dan kuat dalam jaringan pajak di seluruh Jawa. Mulai ada sikap-sikap yang membuat mereka dibenci oleh pribumi. Sesudah Belanda diusir dari Indonesia, kaum Cina menghadapi kesulitan perihal kewarganegaraan dan pemutusan jaringan Cina di desa. Kerusuhan anti Cina marak akibat nasionalisasi. Sesudah goncangan komunisme, mulai tahun 1966 mereka diasimilasikan ke dalam agama lain (mayoritas Kristiani) serta dilarang memakai identitas dan persekolahan Cina.
Seorang teman saya menuturkan bahwa ia sejak lahir telah dikenai tiga stigma atau ‘dosa asal’, yakni karena ia ‘keturunan Cina, Kristen, dan perempuan’. Maka, dalam kehidupan bermasyarakat ia pun tidak leluasa untuk berlaku normal karena sudah dianggap ‘tidak normal’.
Kedatangan bangsa Cina berlatar belakang perniagaan. Perniagaan ini bersilangan dengan institusi politis, baik pemerintah kolonial, VOC, maupun penguasa setempat (Sultan). Peran mereka dalam ekonomi Indonesia amat kuat. Ironisnya, karena mereka dianggap lemah secara kuantitas dan kedudukan politis, ketika ada kecemburuan ekonomi, maka secara ‘terorganisir’, muncul politik kambing hitam dan adu domba sebagaimana terlihat dalam pembantaian Cina Batavia (1740) dan kerusuhan Mei 1998.
Penyesuaian dengan pribumi bukan perkara yang mudah. Kalau suku – suku lain diterima secara mudah, maka berbeda dengan penerimaan terhadap Cina. Cina, meskipun sudah sedemikian lahir, besar, tinggal, berbahasa, berpakaian ala Indonesia tetap saja dinilai sebagai ’yang asing.’ Penelitian yang dilakukan Rizal Bahrun mengungkapkan bahwa dalam diri etnis Cina Indonesia terdapat sebuah dilema psikologis. Di satu pihak, mereka mencintai tanah air Indonesia, tetapi di lain pihak, mereka merasa ditolak. Ada perasaan kuat yang mendorong untuk tinggal di Indonesia, tetapi ada juga perasaan untuk ke luar dari Indonesia.
Posisi lemah etnis Cina adalah bahwa mereka tidak memiliki domain kultural atau wilayah geografis kesukuan. Lain halnya dengan suku Jawa, Bali, Batak, Toraja, Dayak yang masih memiliki basis tempat kebudayaan di Indonesia yakni di Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Sulawesi, dan Pulau Kalimantan. Kesukuan asal Indonesia bukan jaminan atas mentalitas kualitas keindonesiaan seseorang. Sejarah nasional membuktikan bahwa perwakilan Golongan Cina sudah masuk dalam perumusan Sumpah Pemuda dan Naskah UUD 1945.
Ada tiga hubungan antara Islam dengan kebudayaan lain: aliran keagamaan lokal, golongan Kristiani dan Barat, dan kaum Cina. Islam sebagai mayoritas berperan sentral dalam menentukan wajah keindonesiaan. Kesamaan yang terjadi di antara ketiga entitas kebudayaan lain tersebut (Islam dengan kebudayaan Indonesia asli-dengan Barat-dengan Etnis Cina) adalah sama-sama berada dalam tegangan untuk mempertahankan identitas sekaligus mau membuka diri kepada unsur luar. Penulis beranggapan bahwa sampai saat ini keduanya mewakili wajah Indonesia.
Keindonesiaan merupakan suatu hasil gerak dinamis dari pertemuan kaum Nusantara dengan peradaban-peradaban luar. Tanggapan kaum Islam, sebagai komunitas terbesar Indonesia amat beragam dan membentuk cara pandang terbesar bagi seluruh Indonesia. Pergolakan yang terjadi di Nusantara dewasa ini (kerusuhan antar etnis, sentimen anti Cina, marginalisasi aliran Ahmadiyah di Cikeusik, konflik Kristen-Muslim) berhubungan dengan suatu respon terhadap keberlainan.
Diferensiasi budaya dan agama adalah suatu fakta yang tidak bisa diubah. Tindakan anarki terhadap diferensiasi adalah pengingkaran keindonesiaan, sebab memberi penolakan atas kebhinekaan. Yang berbeda dilihat sebagai yang lain dan tidak bisa ditundukkan ke dalam caraku. Yang lain memiliki dimensi keunikannya sendiri yang khas, unik, tidak bisa disamaratakan. Hanya dalam pengakuan identitas kultural dan keunikan ras, agama, baik secara individual maupun kolektif, manusia dapat menjadi dirinya sendiri.
Kekhasan Islam Indonesia dengan demikian ada pada proses inkulturasinya. Maka, watak Muslim Indonesia amat khas sifatnya. NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi pilar yang diharapkan sebagai penjaga atau melindungi negara yang plural ini.
Sebagai gerak dinamis, keindonesiaan masih terus bergerak dan secara kreatif maupun resisten dalam menghadapi persilangan budaya-budaya baru. Memang, bisa dikatakan demikianlah pola keindonesiaan itu. Jika dikaitkan dengan idea Bhinneka Tunggal Ika, maka sikap yang paling tepat ialah menjaga pluralisme. Transformasi yang ada dengan demikian selalu bercorak pluralistik.
Peran pemimpin agama mayoritas amat dibutuhkan untuk menumbuhkan sense of minority kepada para anggotanya. Tentu tak lupa kesadaran hidup kaum minoritas di tengah mayoritas Muslim juga sewajarnya menjadi bagian integral dari hidup bermasyarakat. Inilah sikap dan mentalitas khas Indonesia yang bisa dibanggakan di dunia internasional maupun ke dalam bangsa sendiri.
Membangun Indonesia tidak hanya soal membangun gedung baru DPR, membangun wisma atlet, membangun sekolah RSBI, membangun rumah korban gempa dan letusan gunung tetapi juga berarti membangun mentalitas toleran. Jika ini dimiliki dan menjadi gerak para pemuka agama, maka bangsa ini akan dijauhkan dari masalah konflik horisontal. Kerukunan hidup beragama berdampak penting pada lancarnya pembangunan, peningkatan kesejahteraan, dan pendidikan. Sebab, bagaimana mungkin membangun jika tidak ada situasi kondusif ? Bagaimana bisa saling bekerjasama jika mentalitasnya bercorak eksklusif dan intoleran ?
Ketika mengaitkan fakta bahwa kita tinggal di negara demokrasi, terlihat bahwa pluralisme – lah yang mendorong demokrasi. Pluralisme adalah anak kandung dari demokrasi. Sejarah dan cara kita hadir di bumi Indonesia ini dibentuk dalam pluralitas. Hal ini sudah timbul sejak nenek moyang kita dan ditegaskan secara konstitutif oleh para Bapak Kemerdekaan. Pluralisme menjadi peluang untuk saling mengenal, berdialog, memahami, dan bekerja bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dukungan pemerintah dalam mewujudkan ide toleransi adalah cara terbaik pemeritah kita dalam menjadi Indonesia. Kita bisa toleran pada perbedaan budaya dan agama, tapi tidak bisa toleran kepada krisis moral, korupsi, mafia hukum, dan ketidakadilan sosial. Setiap kasus yang berbau agama perlu ditindaklanjuti secara serius. Jaminan kebebasan beragama juga harus nampak dalam kuota penerimaan pegawai, keadilan mendapat tunjangan, hak mendirikan usaha, dan penerimaan jumlah siswa di sekolah negeri dengan tidak memandang status agama.
Menjadi betah di tanah air sendiri, itulah kerinduan sanubari seluruh warga Indonesia apapun agamanya. Kita perlu belajar dari masa lampau untuk masa depan, untuk melestarikan keragaman bangsa yang besar. Penulis mendukung usaha kaum Muslim, khususnya para penggiat inklusivisme, untuk menjadi penjaga gawang pluralisme Indonesia. Gagasan jernih keislaman dan kebangsaan yang diusung alm. Prof Nurcholis Madjid, alm KH Abdurrahman Wahid, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, atau dalam perspektif kekristenan dan kebangsaan yang diusung Pastor Prof. Franz Magnis-Suseno, dan alm. Pastor Mangunwijaya, dan perspektif Tionghoa dan keindonesiaan yang diangkat budayawan Dr. Sindhunata, politikus Harry Tjan Silalahi, sinolog UI alm. Dr. I. Wibowo, alm. Dr. Lie Tek Tjeng, adalah penggalian nilai luhur keindonesiaan. Minoritas dan mayoritas sama-sama memajukan gagasan keindonesiaan yang berkualitas sebab pada dasarnya ‘embrio’ Indonesia adalah keanekaragaman. Islam hadir sebagai kekayaan religius, budaya, sosial, ekonomi, politis di Indonesia. Tanpa gerak aktif mereka, Indonesia tidak lahir. Demikian pula saat ini tanpa toleransi mereka, Indonesia tidak akan menjadi damai. Islam di Indonesia ini tidak hanya diamalkan sebagai ritual, tapi substansinya menginspirasikan ekspresi sosio-kultural. Diantara dua pilihan, fanatisme atau toleransi, pilihan toleransi itulah hakikat keberanian menjadi Indonesia.
Oleh: Surya Awangga
KOMENTAR