WartaNTT.com, Sabu Raijua – Merefleksikan Injil Lukas 24:13-35, ditulis oleh Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru, Ketua Majelis Klasis Sabu Timur GMIT.
Dalam
perjalanan kehidupan kita sebagai umat Kristen, khususnya di tengah-tengah
konteks kehidupan Nusa Tenggara Timur, kita diundang untuk merefleksikan makna
perjalanan iman bersama Kristus yang bangkit sebagaimana tercermin dalam kisah
perjalanan ke Emaus (Lukas 24:13-35). Khotbah ini akan mengajak kita melihat
secara kritis bagaimana perjumpaan dengan Kristus yang bangkit dapat membawa
transformasi mendalam dalam kehidupan pribadi dan bergereja, serta bagaimana
pemahaman ini memiliki relevansi khusus bagi persekutuan GMIT dalam menghadapi
berbagai tantangan kehidupan di wilayah NTT.
Penafsiran kritis Lukas 24:13-35
Kisah
perjalanan ke Emaus dalam Lukas 24:13-35 merupakan salah satu narasi perjumpaan
dengan Kristus yang bangkit yang paling kaya akan makna teologis. Narasi ini
mengisahkan dua orang murid yang berjalan dari Yerusalem menuju Emaus, sekitar
11 kilometer, dengan hati yang penuh kesedihan dan kekecewaan. Pengharapan
mereka terhadap Yesus sebagai pembebas Israel telah pupus ketika Ia disalibkan.
Dalam perjalanan ini, Yesus menghampiri mereka, namun "mata mereka
tertahan sehingga mereka tidak mengenal Dia" (ay. 16).
Perhatikan
bagaimana Lukas menggambarkan dinamika emosional dalam narasi ini. Kekecewaan
mendalam digambarkan melalui ungkapan "wajah mereka muram" (ay. 17).
Keadilan naratif terwujud ketika Yesus tidak langsung menyatakan diri,
melainkan membimbing mereka melalui penafsiran Kitab Suci "mulai dari Musa
dan semua nabi" (ay. 27). Proses ini merupakan gambaran bagaimana iman
sejati tidak terbentuk secara instan, melainkan melalui perjalanan reflektif
yang menyatukan pengalaman dengan pemahaman Firman.
Kata
"perjalanan" (hodos dalam bahasa Yunani) memiliki makna simbolis yang
mendalam, menggambarkan proses transformatif. Di tengah perjalanan itulah
transformasi terjadi - dari keraguan menuju pengakuan iman. Puncak perjumpaan
terjadi ketika Yesus "mengambil roti, mengucap berkat, memecahmecahkannya
dan memberikannya kepada mereka" (ay.30). Tindakan pemecahan roti ini
merupakan symbol eukaristis yang kuat, mengingatkan pada Perjamuan Terakhir dan
pengorbanan Kristus di kayu salib.
Momen
pengenalan terjadi justru saat roti dipecah-pecahkan-suatu simbolisme yang
mengajarkan bahwa pengenalan akan Kristus yang bangkit terjadi saat kita
merenungkan pengorbanan-Nya. "Lalu terbukalah mata mereka dan mereka
mengenal Dia" (ay. 31). Transformasi yang terjadi sangatlah radikal, dari
keraguan menjadi keyakinan, dari kesedihan menjadi sukacita, dari kebingungan
menjadi pengertian. Respons mereka pun menunjukkan transformasi ini:
"Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara dengan kita di
tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" (ay. 32).
Perubahan ini kemudian mendorong mereka untuk kembali ke Yerusalem dan
membagikan kabar sukacita tersebut kepada murid-murid lain-menggambarkan
bagaimana perjumpaan dengan Kristus yang bangkit selalu mengarah pada
kesaksian.
Konteks
dan dinamika persekutuan GMIT
Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT) merupakan salah satu gereja Protestan terbesar di
Indonesia bagian timur dengan jumlah anggota mencapai lebih dari 2 juta jiwa
yang tersebar di 53 klasis pada tahun 2024. Sebagai gereja yang berakar pada
tradisi Calvinis-Reformasi, GMIT memiliki karakteristik persekutuan yang kuat
dengan penekanan pada nilai-nilai koinonia, marturia, diakonia, liturgia dan
oikonomia.
Persekutuan
GMIT dicirikan oleh ikatan komunal yang kuat berbasis pada nilai-nilai gotong
royong dan kekeluargaan. Pelayanan jemaat yang tersebar dari wilayah perkotaan
hingga pedalaman pulau-pulau terpencil mencerminkan komitmen pada inklusivitas
dan penjangkauan yang luas. Tradisi liturgis GMIT yang memadukan unsur warisan
Eropa dengan kearifan lokal menciptakan identitas yang unik.
Disparitas
ekonomi dan geografis menjadi tantangan signifikan bagi pelayanan GMIT. Jemaat
di daerah terpencil seringkali menghadapi keterbatasan infrastruktur dan sumber
daya pelayanan. Isu kesinambungan regenerasi kepemimpinan gereja dan
pelestarian nilai-nilai iman di tengah arus modernisasi juga menjadi pergumulan
tersendiri.
Salah
satu kekuatan GMIT terletak pada tradisi solidaritas antar jemaat melalui
program program diakonia yang terstruktur. Prinsip yang dihidupi dalam berbagai
program bantuan bencana, beasiswa pendidikan, dan pengembangan ekonomi jemaat.
Model pelayanan berbasis klasis memungkinkan koordinasi dan distribusi sumber
daya yang lebih merata.
Dalam
konteks bergereja di GMIT, kisah perjalanan ke Emaus memiliki relevansi
mendalam. Seperti murid-murid yang mata rohaninya tertahan, jemaat GMIT pun
kerap menghadapi "ketertahanan" dalam mengenali kehadiran Kristus di
tengah berbagai pergumulan hidup. Tradisi berbagi roti dalam perjamuan kudus
menjadi momen penting di mana jemaat diingatkan akan kehadiran Kristus yang
mengubahkan. Kebiasaan jemaat GMIT berkumpul dalam kelompok-kelompok kategorial
dan unit-unit pemahaman Alkitab mirip dengan perjumpaan di jalan Emaus, di mana
Firman dibagikan dan direnungkan bersama.
Nilai
keadaban dan inklusivitas dalam komunitas GMIT tercermin dalam penerimaan
terhadap berbagai latar belakang budaya dan etnis, menjadikan gereja sebagai
rumah bersama yang mempersatukan keberagaman. Tantangan bagi GMIT adalah
bagaimana terus mengembangkan persekutuan yang tidak hanya berorientasi ke
dalam tetapi juga mampu menjadi agen transformasi sosial di tengah masyarakat
NTT yang terus berubah.
Lukas
24:13-35 untuk kehidupan umat NTT
Masyarakat
Nusa Tenggara Timur menghadapi berbagai tantangan sosial-ekonomi yang kompleks.
Data Badan Pusat Statistik NTT tahun 2023 menunjukkan tingkat kemiskinan
mencapai 20,47%, jauh di atas rata-rata nasional. Kondisi ini diperparah dengan
keterbatasan akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan
infrastruktur ekonomi yang memadai.
Di
tengah situasi ini, kisah perjalanan ke Emaus memberikan beberapa relevansi
kritis bagi kehidupan umat Kristen di NTT.
1. Tantangan
Ekologis
NTT
menghadapi kekeringan berkepanjangan yang berdampak pada ketahanan pangan dan
air bersih. Dalam konteks ini, kisah Emaus mengingatkan tentang "hati yang
berkobarkobar" sebagai simbol pengharapan dan resiliensi di tengah
kesulitan.
Seperti
Kristus yang hadir menyertai perjalanan murid-murid yang kecewa, demikian pula
kehadiran-Nya menyertai umat yang bergumul dengan tantangan alam.
2. Solidaritas
Komunal
Tradisi
berbagi makanan dalam kisah Emaus beresonansi dengan nilai-nilai gotong royong
yang masih kuat dalam masyarakat NTT. Di tengah keterbatasan ekonomi, praktik
berbagi sumber daya menjadi kekuatan sosial yang memungkinkan masyarakat
bertahan. Gereja dipanggil untuk menjadi fasilitator solidaritas ini, mencontoh
Kristus yang membagikan roti kepada murid-murid-Nya.
3. Migrasi
dan Identitas
Fenomena
migrasi tenaga kerja dari NTT ke luar daerah dan luar negeri menciptakan
dinamika tersendiri bagi keluarga dan komunitas yang ditinggalkan. Kisah
perjalanan ke Emaus menawarkan paradigma bahwa perjalanan -- bahkan yang
dimotivasi oleh kekecewaan -- dapat menjadi ruang perjumpaan dengan Kristus
yang mengubahkan. Gereja perlu hadir mendampingi keluarga-keluarga yang
terpisah jarak.
4. Pemberdayaan
Melalui Pendidikan
Seperti
Kristus yang membuka pemahaman murid-murid melalui penjelasan Kitab Suci,
pendidikan menjadi kunci pemberdayaan masyarakat NTT. Gereja memiliki peran
strategis dalam mengembangkan Lembaga pendidikan yang berkualitas dan
terjangkau, membangun generasi yang kritis dan beriman.
Pergumulan
identitas juga menjadi isu penting bagi masyarakat NTT di era globalisasi. Di
satu sisi, terdapat tekanan untuk meninggalkan nilai-nilai tradisional demi
modernitas; di sisi lain, ada kebutuhan untuk melestarikan kearifan lokal
sebagai bagian dari identitas komunal. Kisah Emaus mengingatkan bahwa identitas
sejati ditemukan dalam perjumpaan dengan Kristus4yang tidak menolak tradisi (Ia
menjelaskan dari "Musa dan semua nabi") tetapi memberi makna baru
padanya.
Pengharapan
Kristen memiliki makna mendalam bagi masyarakat yang hidup dalam keterbatasan
dan ketidakpastian. Seperti murid-murid yang kembali ke Yerusalem dengan
sukacita, umat Kristen di NTT dipanggil untuk menjadi pembawa pengharapan di
tengah situasi yang menantang. Kisah kebangkitan menegaskan bahwa kegagalan,
kekecewaan, dan bahkan kematian bukanlah kata akhir--Kristus yang bangkit
mengubah narasi keputusasaan menjadi kisah kemenangan.
Memaknai
panggilan perjalanan kehidupan Umat
Perjalanan
iman setiap individu merupakan pengalaman unik yang memiliki dinamika,
tantangan, dan pertumbuhan tersendiri. Seperti dua murid dalam perjalanan ke
Emaus, kita pun mengalami momen-momen ketika mata rohani kita
"tertahan" dan sulit mengenali kehadiran Kristus di tengah pergumulan
hidup. Perjalanan pribadi ini bukan hanya tentang pencapaian tujuan akhir,
melainkan proses transformasi yang terjadi sepanjang jalan.
Seperti
murid-murid yang berjalan dengan wajah muram, kita sering mengalami fase
ketidakpastian dan keraguan dalam perjalanan iman. Pengalaman kehilangan
pekerjaan, kegagalan dalam pendidikan, atau konflik keluarga dapat mengaburkan
visi spiritual kita. Namun justru dalam kegelapan inilah Kristus seringkali
mendekat dan berjalan bersama, meskipun kita belum mengenali-Nya.
Yesus
membuka percakapan dengan pertanyaan sederhana: "Apa yang kamu
percakapkan?" Ini menjadi awal dialog transformatif. Dalam perjalanan iman
pribadi, dialog dengan Firman Tuhan, dengan sesama, dan dengan diri sendiri
menjadi ruang di mana transformasi dimulai. Kelompok pendalaman Alkitab, retret
spiritual, atau konseling pastoral dapat menjadi wadah dialog yang
memfasilitasi pertumbuhan iman.
Momen pemecahan roti
menjadi titik balik dalam narasi Emaus. Demikian pula, perjalanan iman kita
sering ditandai oleh momen-momen pencerahan mendadak saat "mata tertumbuk
dan hati tersentuh" oleh kebenaran ilahi. Momen-momen ini bisa datang melalui
khotbah yang menyentuh, pengalaman ibadah yang mendalam, atau bahkan dalam
keheningan doa pribadi.
Perjalanan
murid-murid tidak berakhir di Emaus; mereka kembali ke Yerusalem untuk
bersaksi. Demikian pula, perjalanan iman pribadi kita menemukan maknanya yang
penuh ketika kita membagikan pengalaman perjumpaan dengan Kristus kepada orang
lain. Kesaksian hidup menjadi bukti autentik dari transformasi yang telah
terjadi.
Konteks
kehidupan di NTT menawarkan contoh nyata bagaimana perjalanan iman personal
diuji dan ditumbuhkan. Kisah guru-guru Kristen yang melayani di desa-desa
terpencil dengan keterbatasan fasilitas mencerminkan komitmen untuk
"berjalan bersama Kristus" ke tempat-tempat yang membutuhkan. Mereka
menghadapi tantangan akses pendidikan, infrastruktur terbatas, dan kadang
penolakan budaya, namun tetap bertahan karena mengenali Kristus dalam
perjalanan pelayanan mereka.
Peran
doa, firman, dan komunitas menjadi pilar penting dalam menguatkan iman pribadi.
Tradisi GMIT yang kaya dengan kelompok doa, ibadah keluarga (keluarga sambt),
dan persekutuan kategorial menyediakan ruang-ruang di mana iman dipupuk dan
ditumbuhkan. Seperti murid-murid yang mengenali Kristus dalam pemecahan roti,
demikian pula jemaat GMIT menemukan peneguhan iman dalam sakramen perjamuan
kudus yang dilakukan secara reguler.
Pertumbuhan
iman dalam perjalanan pribadi tidak selalu linear; ada masa-masa kemajuan dan
kemunduran, sukacita dan pergumulan. Namun seperti disaksikan dalam kisah
Emaus, Kristus yang bangkit setia mendampingi di setiap tahap perjalanan,
meskipun kadang kita tidak menyadari kehadiran-Nya. Panggilan kita adalah untuk
tetap membuka hati dan pikiran, siap diubahkan oleh perjumpaan dengan-Nya di
sepanjang jalan kehidupan.
GMIT
ber-Sinode dan bergereja dalam perjalanan bersama
Konsep
"sinode" (syn-hodos) secara harfiah berarti "berjalan
bersama" memiliki relevansi mendalam dengan kisah perjalanan Emaus dan
konteks bergereja di GMIT. Perjalanan bersama bukan sekadar berjalan secara
fisik dalam satu kelompok, tetapi lebih pada kesadaran akan tujuan bersama dan
komitmen untuk saling mendukung dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam konteks
gereja, ini berarti menghidupi panggilan sebagai komunitas yang berjalan
bersama Kristus dan sesama menuju transformasi pribadi dan sosial.
Pelayanan
lintas budaya menjadi panggilan khusus GMIT mengingat keberagaman etnis dan
budaya di NTT. Seperti Kristus yang menghampiri dan berjalan bersama
murid-murid yang berbeda, gereja dipanggil untuk hadir dalam keberagaman tanpa
kehilangan identitas. Dialog antarbudaya dan antariman perlu dikembangkan
sebagai sarana membangun perdamaian dan kohesi sosial, khususnya di
daerah-daerah yang rentan konflik. Pendekatan kontekstual dalam liturgi dan
pelayanan pastoral memungkinkan Injil "berinkarnasi" dalam beragam
ekspresi budaya NTT.
Kepedulian ekologis
merupakan dimensi penting lain dari panggilan bergereja di NTT. Sebagai wilayah
yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, NTT menghadapi ancaman serius
berupa kekeringan berkepanjangan, erosi tanah, dan kelangkaan air bersih. Teologi
penciptaan perlu dikembangkan untuk melandasi aksi ekologis gereja, menyadarkan
jemaat bahwa merawat alam adalah bagian integral dari panggilan mengasihi Allah
dan sesama. GMIT dapat mempelopori program-program konservasi berbasis
komunitas seperti penghijauan lahan kritis, system pertanian berkelanjutan, dan
pengelolaan air bersih.
Tanggung
jawab gereja sebagai "sahabat di perjalanan" juga mencakup
pendampingan pastoral bagi kelompok rentanseperti perempuan, anak-anak, lansia,
dan penyandang disabilitas. Program-program bimbingan konseling krisis,
pendampingan korban kekerasan, dan pelatihan keterampilan bagi perempuan kepala
keluarga perlu dikembangkan sebagai wujud nyata solidaritas Kristiani. Meminjam
istilah lokal, gereja dipanggil menjadi "atoin asnat" (orang yang
menolong) bagi mereka yang terpinggirkan, mencerminkan Kristus yang berkenan
berjalan bersama murid-murid yang putus asa.
Penutup:
Kristus bangkit, jemaat GMIT di panggil mengubah dunia
Kisah
perjalanan ke Emaus memberikan paradigma penting tentang bagaimana Kristus yang
bangkit hadir dalam perjalanan iman kita. Seperti dua murid yang "mata
rohaninya tertahan", kita pun seringkali gagal mengenali kehadiran Kristus
di tengah-tengah pergumulan hidup. Namun, melalui penjelasan Firman dan
pemecahan roti -- melalui pengajaran dan sakramen -- Kristus membuka mata
rohani kita, menyalakan api pengharapan yang memampukan kita menjadi saksi
kebangkitan-Nya di tengah dunia.
Bagi
jemaat GMIT di NTT, peneguhan semangat persekutuan dan misi injili menjadi
sangat relevan di tengah berbagai tantangan sosial-ekonomi. Seperti murid-murid
yang kembali ke Yerusalem untuk bersaksi, jemaat dipanggil untuk menjadi
"utusan" yang membawa kabar sukacita tentang Kristus yang bangkit ke
dalam konteks masyarakat. Kabar sukacita ini bukan sekadar doktrin teologis,
melainkan kekuatan transformatif yang mampu mengubah realitas kemiskinan
menjadi kesejahteraan, konflik menjadi perdamaian, dan keputusasaan menjadi
pengharapan.
Harapan
dan doa bagi jemaat GMIT adalah agar mereka terus bertumbuh dalam pengenalan
akan Kristus yang bangkit. Melalui persekutuan yang hidup, pelayanan yang
relevan, dan kesaksian yang berani, gereja dapat menjadi agen perubahan di
tengah berbagai tantangan zaman. Semoga "mata rohani" jemaat
senantiasa terbuka untuk mengenali kehadiran Kristus dalam perjumpaan
sehari-hari --- dalam senyum anak-anak di sekolah minggu, dalam kerja sama
membangun rumah ibadah, dalam gotong royong menghadapi musim kemarau, dan dalam
solidaritas menolong sesama yang berkekurangan.
Seperti
hati murid-murid Emaus yang "berkobar-kobar" ketika Yesus menerangkan
Kitab Suci, semoga hati umat GMIT pun berkobar dalam semangat melayani dan
bersaksi bagi kemuliaan Tuhan. Ajakan untuk menjadi saksi perubahan melalui
perjalanan bersama Kristus bukanlah tugas yang ringan. Namun, dengan kekuatan
Roh Kudus dan kesetiaan dalam persekutuan, umat GMIT dapat menghadapi setiap
tantangan dengan pengharapan.
Marilah
kita, sebagai komunitas orang percaya, terus berjalan bersama Kristus yang
bangkit -- membiarkan Dia menafsirkan pergumulan hidup kita melalui terang
Firman-Nya, memecah-mecahkan roti kehidupan bersama kita, dan mengobarkan hati
kita dengan api pengharapan yang tidak pernah padam.
Kiranya
Tuhan Yesus Kristus yang bangkit dan berjalan bersama murid-murid ke Emaus juga
menyertai perjalanan iman jemaat GMIT, memberkati pelayanan gereja, dan
menjadikan kita semua saksi kebangkitan-Nya yang mengubahkan dunia, Amin. (DeW)
Catatan
redaksi :
Semua isi materi baik berupa teks maupun foto yang dikirim, adalah tanggungjawab pengirim sepenuhnya. WartaNTT tidak bertanggungjawab atas isi dari materi. Redaksi berhak menyunting materi yang dikirimkan. Penyuntingan terkait paragraph dan perbaikan ejaan tanpa mengubah isi.
KOMENTAR