wartantt.com -- Pertemuan antara
sejumlah tokoh lintas agama dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana
Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9) siang, membahas sejumlah hal mulai dari
kebakaran hutan dan lahan (karhutla), perkembangan di Papua, hingga aksi unjuk
rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta
dan di sejumlah daerah. Terkait dengan aksi unjuk rasa mahasiswa, para tokoh
lintas agama intinya melihat bahwa gerakan mahasiswa adalah suatu gerakan moral
force. Mereka sebagai agent of change, sebagai agen perubahan.
“Kami harapkan
kemurnian dari gerakan ini. Tentu akan terus dapat diperjuangkan meski kami
juga berharap agar gerakan mahasiswa betul-betul dapat dihindarkan dari adanya
kepentingan tertentu yang ingin menunggangi agenda-agenda tersebut,” kata
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmi Faisal
Zaini menjawab wartawan usai bertemu dengan Presiden Jokowi.
Para tokoh lintas
agama, lanjut Helmi, bersama-sama mendoakan agar bangsa Indonesia tetap jadi
bangsa adil makmur aman sejahtera, tetap beradab dengan nilai luhur bangsa yang
dimiliki. Mereka mensinyalir bahwa budaya sopan santun, saling menghormati,
budaya saling menghargai, dan tentu kita lihat di sejumlah kalangan ini
sekarang mengalami krisis.
“Ketika orang menyampaikan kebebasan hendaklah
kebebasan yang tentu memiliki etika, akhlak, bukan kebebasan tanpa batas.
Sehingga ini merupakan kebebasan yang menurut kami anarki terhadap demokrasi
tersebut,” ucap Helmi. Senada dengan Helmi, Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah
(PWM) D.I. Yogyakarta, Dr. H. Agus Taufiqurrahman, menghargai gerakan yang
disampaikan para mahasiswa. Ia berharap, penyampaian pedapat oleh mahasiswa
tentunya dengan koridor etika bangsa yang selama ini dijunjung tinggi.
“Oleh
karena itu gerakan yang murni ini harus dijaga agar jangan sampai kemudian
terjadi cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa yang kita
cintai,” ucap Taufiqurrahman. Kedepankan Dialog Sementara Ketua Umum
Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Dr. Henriette Tabita Lebang
mengatakan, yang harus digaris bawahi adalah pentingnya dialog yang ditempatkan
dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). “Kepentingan bangsa
yang perlu kita utamakan. Sehingga kalau kepentingan bangsa itu menguasai hati
kita maka cara-cara kita mengemukakan pendapat juga akan mementingkan
kepentingan bangsa. Itu yang kami sampaikan,” kata Henriette.
Presiden, lanjut
Ketua Umum PGI, mencoba untuk berdialog secara kultural. Karena bangsa
Indonesia ini bangsa yang majemuk, tambah Henriette, maka cara mengungkapkan
hal-hal yang menyangkut kepentingan bangsa perlu mempertimbangkan faktor-faktor
budaya, cara berkomunikasi yang bertanggung jawab. “Saya kira kalau semua kita
tempatkan dalam rangka kepentingan bangsa maka kita harapkan bahwa kita semua
akan bersama-sama bekerja sama untuk kemaslahatan bangsa kita,” pesan
Henriette.
Sementara Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr.
Ignatius Suharyo mengemukakan, di Indonesia ini kan latar belakang budaya dan
kemerdekaan beda-beda. Maka pasti akan ada diskusi yang panjang, lanjut
Suharyo, itulah sebabnya pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU)
ditunda. “Supaya masih banyak masukan yang bisa ditampung dan sejauh mungkin
memenuhi semua yang perlu dipenuhi oleh UU itu,” kata Suharyo. Bahwa pada
waktunya nanti, UU harus disahkan, menurut Ketua Umum KWI itu sesuatu yang
pasti. Pasti setuju yang macam-macam, ada mekanismenya. Kalau tidak setuju, ke
Mahkamah Konstitusi saja. “Jadi menurut saya hal yang sangat biasa bahwa suatu
UU dalam jangka waktu tertentu, karena keadaan jaman berubah mesti direvisi.
Tetapi proses revisi, proses sosialisasi, dan diskusi perlu waktu yang panjang,”
pungkas Suharyo. (AIT/JAY/ES)
KOMENTAR