wartantt.com -- Belum lama ini penulis berbincang santai
dengan salah seorang pendidik yang juga berposisi sebagai ketua RT di
kampungya. Dalam perbincangan tersebut beliau mengeluhkan dua hal yakni Pertama,
kondisi anak muda jaman sekarang yang tidak lagi mengenal tata krama
atau budi pekerti jika berbicara dengan orang yang lebih tua serta
ketidakpahaman mereka dalam mengamalkan Pancasila. Kedua,
sebagian masyarakat kita yang tidak lagi mampu mengamalkan Pancasila
dengan baik dan benar. Rasa kebersamaan seolah-olah telah mati diganti
dengan uang. Dengan kata lain, uang telah mengambil alih nurani untuk
membangun ikatan kebersamaan dalam masyarakat.
Beliau memberikan contoh sederhana yakni
ketika gempa bumi mengguncang Yogyakarta pada tahun 2006. Sebelum
bantuan sosial datang, masyarakat memiliki rasa senasib sepenanggungan
yang begitu kuat, mereka saling memahami satu dengan lain karena berada
pada situasi yang sama, sehingga apa yang dimiliki oleh pribadi menjadi
milik bersama, tanpa perasaan ini niscaya mereka tidak akan bisa
bertahan hidup. Lalu semua menjadi berbeda ketika bantuan sosial,
utamanya dalam bentuk bantuan uang digulirkan oleh pemerintah, bonding social
(ikatan sosial) yang semula sangat terlihat dalam tubuh masyarakat
kemudian menjadi hilang, yang terlihat adalah keinginan (nafsu) untuk
memperoleh bantuan sebanyak mungkin. Realitas tersebut menjadi suatu
keniscayaan yang seringkali kita temui di masyarakat.
Pada titik ini tentunya akan muncul suatu
pertanyaan, dimanakah Pancasila ? atau justru pertanyaan sebaliknya,
dimana masyarakat kita yang dulu begitu guyub dan rukun ?. jangan-jangan
bukan Pancasila yang meninggalkan kita, akan tetapi kita lah yang
meninggalkan Pancasila. Harus diakui problematika ideologis yang
dihadapi oleh bangsa ini tidak lain adalah ketidakmampuan masyarakat
untuk memahami sekaligus mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari. Lalu kemudian muncul pertanyaan retorik,
Pancasila terlalu abstrak untuk diamalkan ?. Pemahaman seperti ini jelas
salah, justru Pancasila lah, kristalisasi dari nilai yang selama ini
hidup di masyarakat, sebagaimana Soekarno pernah menyampaikan bahwa
dirinya adalah penggali Pancasila, yang bisa dimaknai bahwa Soekarno
telah melakukan perenungan atas tata nilai dan norma yang selama ini
berlaku di masyarakat. Dengan ini jelas sudah bahwa Pancasila adalah
nilai yang kemudian dapat mewujud sebagai norma yang dapat
diimplementasikan secara konkret.
Secara sederhana, mengamalkan Pancasila
berarti menjaga budaya dan tradisi bangsa yang sudah turun temurun
selama ratusan tahun. secara kultural bangsa ini memahami konsep
Ketuhanan yang Berkebudayaan, dimana aspek budaya dan adat istiadat kita
sangat relevan untuk dimaknai pada aras transendental dimana
nilai-nilai ke-Tuhan-an hadir dan menjadi hikmah. Pun, disisi yang lain
konsep keadilan sosial yang menjadi tujuan dari bernegara juga sudah
hadir dalam perilaku masyarakat dengan adanya iuran sosial, pralenan
(iuran/bantuan kematian), arisan, dan lain-lain. Kita harus memahami,
wajah masyarakat kita ini adalah wajah dari implementasi Pancasila. Maka
sangat mengherankan jika masyarakat tidak memahami fitrah yang selama
ini ada dan hidup dalam urat nati kehidupan mereka.
Bangsa Indonesia lahir karena adanya
perbedaan (pluralism) dimana kemudian diikat oleh Pancasila dan slogan
“bhinneka tunggal ika”, disinilah pentingnya memperjuangkan persatuan
dalam keberagaman. Dan semua itu bisa hadir ketika bangsa ini memahami
dengan baik nilai-nilai Pancasila. Kita telah memiliki ‘ideologi’ yang
menjadikan iri bangsa-bangsa lain dan kita memiliki rakyat yang menjadi
mesiu dalam memperjuangkan kemerdekaan. Menarik jika kita kembali
melihat apa yang dikatakan oleh Soekarno pada Pidato Peringatan Lahirnya
Pancasila di Istana Negara pada tanggal 5 Juni 1958, dalam kesempatan
itu Soekarno memberikan ceramah kepada para Pemuda Liga Pancasila yang
berintikan perbedaan antara perjuangan rakyat Indonesia dengan rakyat
India, yang berbunyi “rakyat India dapat mengalahkan imperialisme
inggris, yang pada hakikatnya satu imperialisme dagang, satu
handelsimperialism, dengan memobilisir kekuatan daripada satu nationale
bourgeoisie yang sedang timbul. Sedang kita, saudara-sadaraku, tidak
memiliki nationale bourgeoisie, oleh karena itulah perjuangan bangsa
Indonesia mau tidak mau harus mempergunakan tenaga dari rakyat jelata.
Secara historikal jelas sudah bahwa aras
perjuangan kemerdekaan bangsa ini lahir dari rasa nasionalisme yang
dimiliki rakyat Indonesia, bukan digerakkan oleh kaum borjuis
sebagaimana India. Oleh karena itu, menjadi wajar kiranya jika ruh dari
kemerdekaan bangsa ini tidak lain adalah perjuangan rakyat, dan seturut
dengan hal tersebut, sudah sepantasnya jika tugas menjaga Pancasila
menjadi tugas kita sebagai rakyat dan bukan siapapun. Sudah saatnya
seluruh elemen bangsa ini kerja bersama untuk menjaga Pancasila dan
membumikannya di tanah pertiwi.
KOMENTAR