wartantt.com -- Presiden Jokowi akhirnya menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Perubahan UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Perppu ini bukan untuk memberangus kebebasan berserikat rakyat melainkan untuk mengatur dan membina ormas yang ada, sehingga keberadaannya memberikan kontribusi positif bagi negera.
Saat ini tercatat 344.039 ormas di Indonesia baik tingkat nasional maupun daerah. Pada kenyataannya ada ormas yang dalam praktik kesehariannya bertentangan dengan Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Ormas semacam ini nyata-nyata mengancam eksistensi bangsa dan menimbulkan konflik di masyarakat. Kita mendukung penuh setiap aturan yang menjadi dasar hukum untuk membubarkan ormas-ormas radikal yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Kita mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan Perppu Ormas. Sikap pemerintah ini merupakan sebuah ketegasan untuk mengatasi permasalahan bangsa. Presiden tentu sudah mempertimbangkan masak-masak kemungkinan kegaduhan yang bakal terjadi, sekurangnya polemik hukum terkait penerbitan Perppu. Namun, sekali lagi, kita perlu melihat ketegasan pemerintah yang ingin “menggebuk” ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI sesuai konstitusi.
Dalam hal menertibkan ormas yang melenceng pemerintah harus bijak memberikan argumentasi latar belakang, sehingga perlu diterbitkan Perppu.
Pada Pasal 22 UUD 45 disebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, maka presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Peraturan tersebut harus mendapat persetujuan DPR. Pasal 22 ini ditafsirkan memberikan kewenangan kepada presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara.
Ukuran objektif penerbitan perppu dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Ada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa bagi presiden. Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Selama ini kita sudah memiliki UU Ormas, yakni UU 17/2013. Di dalamnya sudah diatur mengenai syarat ormas di Indonesia. Menilik ke belakang, UU ini muncul manakala negara dinilai ragu-ragu dan tidak tegas, khususnya aparat keamanan dalam melakukan tindakan untuk membina ataupun menyelesaikan kekerasan oleh ormas. Sementara di lapangan sudah teridentifikasi kelompok masyarakat terorganisasi yang belum memiliki bentuk yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan dan satuan tugas yang bersifat militeristik dengan menggunakan atribut tertentu.
Dalam UU Ormas sudah diatur mengenai sanksi dan pembubaran ormas. Dalam UU tersebut tidak disebutkan pemerintah atau pemerintah daerah hanya bisa memberikan sanksi administratif terhadap ormas yang melanggar. Sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, serta pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Sanksi ini berjenjang dan butuh waktu lama. Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap ormas lingkup nasional, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap ormas lingkup provinsi atau kabupaten/kota, kepala daerah wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD. Pembubaran ormas baru bisa dilakukan setelah adanya sanksi administratif. Permohonan pembubaran diajukan ke pengadilan negeri oleh Kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
UU Ormas yang ada sekarang inilah yang menurut pemerintah tidak lagi mengakomodasi kebutuhan dalam rangka membina ormas. Menurut Menko Polhukam Wiranto, UU yang ada tidak cukup lengkap mengatur dinamika soal ormas antara lain mengenai substansi, norma, sanksi, dan prosedur hukum. Salah satu contoh yang tidak terwadahi pada aturan sebelumnya adalah tidak diaturnya lembaga pemberi izin juga sebagai lembaga yang diberi wewenang mencabut izin. Pengertian mengenai ajaran yang bertentangan dengan Pancasila juga tidak lengkap. Saat ini bukan hanya Leninisme atau Marxisme yang bertentangan melainkan telah muncul beberapa ajaran di luar itu yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Publik tidak boleh disesatkan oleh pandangan bahwa perppu dibuat karena persoalan satu ormas saja. Kebetulan, menko polhukam pernah menyatakan soal pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lantas wacana berkembang bahwa untuk membubarkan HTI butuh waktu lama, sehingga dibuatlah perppu khusus untuk membubarkan HTI. Wacana simpang siur itu diperparah dengan pernyataan-pernyataan sejumlah kalangan yang dikutip media massa mainstream seolah perppu kali ini adalah perppu pembubaran HTI.
Dengan melihat lebih bijak bahwa perppu untuk kemaslahatan bersama di Bumi Pertiwi, maka pandangan sempit dan sentimen kelompok bakal terkikis. Perppu dimaksudkan untuk mengatur lebih jelas pelarangan ormas yang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan, menyalahgunakan, menista, atau melakukan penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Juga ormas yang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum, atau mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
KOMENTAR