Tidak sedikit masyarakat Indonesia belakangan ini yang terjebak pada
politik identitas oleh kelompok fundamental, hingga rezim saat ini
dituduh pelindung “kafir”, meskipun Basuki sudah dipenjara. Hal tersebut
tetap digaungkan untuk mewujudkan agenda mereka yang lebih besar yaitu
merebut dominasi kekuasaan. Apakah benar mayoritas terzalimi pada
kekuasaan saat ini? jawabannya TIDAK.
Jokowi adalah sosok yang selalu berkontribusi positif untuk kemajuan bangsa serta tidak membatasi diri untuk dekat kepada rakyatnya. Maka jika mayoritas disebut terzalimi oleh kelompok fundamental yang berwatak radikal tentunya adalah tuduhan keliru. Dengan demikian ada baiknya kita mencoba untuk melihat realita kekuasaan hari ini dengan kepala yang jernih dan berlaku adil. Pencapaian Jokowi dalam memimpin mempunyai spirit trisakti dan nawacita, hal ini bisa kita lihat dari membangun pinggiran Indonesia, infrastruktur, kesetaraan harga, stock pangan, mengembalikan bangsa menjadi poros maritim, jaminan kesehatan dan pendidikan, pemberian sertifikat tanah, dan seterusnya. Agar tulisan opini ini tidak melebar kemana-mana, maka pada kesempatan ini, saya mencoba mengambil fokus tentang Demokrasi Ekonomi di tangan Jokowi.
“Yang dinamakan demokrasi di barat hanyalah politik semata, tanpa adanya keadilan sosial dan demokrasi ekonomi” Soekarno.
Jokowi adalah sosok yang selalu berkontribusi positif untuk kemajuan bangsa serta tidak membatasi diri untuk dekat kepada rakyatnya. Maka jika mayoritas disebut terzalimi oleh kelompok fundamental yang berwatak radikal tentunya adalah tuduhan keliru. Dengan demikian ada baiknya kita mencoba untuk melihat realita kekuasaan hari ini dengan kepala yang jernih dan berlaku adil. Pencapaian Jokowi dalam memimpin mempunyai spirit trisakti dan nawacita, hal ini bisa kita lihat dari membangun pinggiran Indonesia, infrastruktur, kesetaraan harga, stock pangan, mengembalikan bangsa menjadi poros maritim, jaminan kesehatan dan pendidikan, pemberian sertifikat tanah, dan seterusnya. Agar tulisan opini ini tidak melebar kemana-mana, maka pada kesempatan ini, saya mencoba mengambil fokus tentang Demokrasi Ekonomi di tangan Jokowi.
“Yang dinamakan demokrasi di barat hanyalah politik semata, tanpa adanya keadilan sosial dan demokrasi ekonomi” Soekarno.
Bukan liberalisasi dimana ekonomi
kerakyatan lebih cenderung bersifat filosofis dan sebatas konsep,
ketidaksempurnaan pasar atau distorsi ekonom yang melahirkan
diskriminasi pasar, dimana pasar dikendalikan para capital besar hingga
tampak kesenjangan bahkan mematikan usaha-usaha rakyat khususnya
golongan menengah bawah. Ekonomi liberal sangat kental nuansanya di era
kepemimpinan sebelum Jokowi. Pada kepemimpinan rezim sebelumnya sangat
tampak neokolonialisme dan Neolib berdiri gagah di negeri ini, hal ini
juga dapat dilihat dari bursa saham yang dikuasai asing cukup tinggi dan
menjamurnya korporasi-korporasi dibidang agraria misalnya.
Dalam pasal 33 UUD 45 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua,
dibawah pimpinan dan atau pemilikan anggota. Jika mau berusaha adil
dalam histori nusantara dalam hal ini, jelas Soekarno sudah mengeluarkan
statement tentang menasionalisasikan perusahaan asing, yang hanya
menguntungkan sepihak (pihak luar saja), menggagas land reform, dan
mengganyang imperialisme. Apa yang telah menjadi cita-cita proklamator
ini tentunya sangat beralasan, selain untuk menjadikan bangsa Indonesia
yang berdikari, mandiri, tentunya untuk mewujudkan Indonesia yang
berkeadilan, termasuk pemerataan dari Sabang sampai Marauke.
Setelah kepemimpinan Soekarno, sangat
jelas terlihat bahwa hanya Jokowi yang kembali ingin mewujudkan apa yang
menjadi cita-cita pendiri bangsa. Seperti menumbuhkan kembali semangat
Nawacita dan Trisakti dibidang ekonomi. Dengan pelan tapi pasti Jokowi
mulai merealisasikan demokrasi ekonomi untuk kepentingan bangsa dan
rakyatnya seperti yang sudah diamanahkan dalam UUD 45. Hal semacam ini
tentulah bukan seperti sulap bim sala bim yang langsung jadi,
akan tetapi banyak proses yang harus dilalui dan dikerjakan untuk
memperbaiki ekonomi bangsa yang setengah miring pada rezim sebelumnya.
Jokowi pun tidak mau hanya terjebak pada konsep semata, melainkan ikut
turun kelapangan untuk melihat langsung realitas yang terjadi.
Ekonomi bangsa memang seharusnya tidak
untuk dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli,
oligopoly, oligarki, korupsi dan kolusi. Jika tidak maka neokolonialisme
dengan ragam rupa akan terus hidup di tanah air yang kita cintai
bersama ini. Maka sudah sepatutnya demokrasi ekonomi yang sempat “mati”
dihidupkan kembali. Harapan ini ada pada kepemimpinan Jokowi.
Salah satu yang menjadi ciri dari
demokrasi ekonomi adalah ekonomi yang memihak kepada rakyat, namun
tentunya tidak hanya berkutat pada makna ekonomi kerakyatan semata. Pada
hakikatnya demokrasi ekonomi merupakan suatu sistem atau pun konsep di
mana rakyat secara proporsional, sesuai dengan kemampuannya, diberi
kebebasan untuk mengalokasikan sumber daya ekonominya. Dalam demokrasi
ekonomi, kekuatan ekonomi tersebar di masyarakat dan tidak tersentral di
pusat. Kemudian komunikasi dan interaksi antar pelaku dalam demokrasi
ekonomi dilandasi oleh semangat keseimbangan, keserasian, saling
mengisi, dan saling menunjang dalam rangka mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Maka pembangunan infrastrutur dipinggiran dan
pedalaman serta daerah perbatasan yang dilakukan oleh Jokowi adalah
langkah yang tepat untuk mencapai pemerataan dan memperlancar roda
ekonomi, hingga kekuatan ekonomi tersebar keseluruh wilayah Indonesia
dan tidak terpusat hanya di pulau Jawa.
Demokrasi ekonomi dengan pelan tapi pasti
mulai berjalan dan tampak di kepemimpinan Jokowi. Hal ini bisa dilihat
dari nilai tukar rupiah, kesetaraan harga BBM di Indonesia Timur,
pembangunan infrastuktur sampai ke daerah perbatasan dan pedalaman,
menjadikan BUMN sebagai pilar ekonomi. Serta pembenahan dalam mengelolah
Sumber Daya Alam. Dimana Sumber daya alam selama ini telah
ditransformasikan menjadi komoditas yang cenderung dikendalikan oleh
kepentingan pasar yang hanya untuk mengakumulasi laba secara sepihak,
bukan untuk hajat rakyat Indonesia.
Jokowi hendak menempatkan ekonomi kerakyatan sebagai pilar penting
bangsa. Dan menegaskan agar perekonomian rakyat berjalan untuk menjadi
salah satu pilar penting dalam menyangga perekonomian nasional. Ekonomi
secara nasional di era Jokowi dengan pelan tapi pasti terus tumbuh.
Ditambah lagi pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terluar dan
perbatasan, seperti menargetkan pada tahun 2018 ruas jalan paralel yang
ada di perbatasan di Kalimantan dengan panjang 1.770 km bisa tembus
hingga dapat dilalui kendaraan. Begitu juga jalan Tol di Sumatera serta
Trans Papua. Jelas dengan membuka akses jalan di daerah perbatasan akan
dapat meningkatkan taraf hidup dan keberlangsungan jalan roda ekonomi
masyarakat yang merata.
Selain yang dituliskan diatas dalam
mewujudkan demokrasi ekonomi yang merata dan berpihak pada rakyat oleh
Jokowi. Jokowi juga meminta perusahaan yang go public untuk melaksanakan distribusi kepemilikan saham bagi para karyawannya. Seperti yang saya kutipkan dibawah ini:
Untuk memperkuat agar demokrasi ekonomi
nasional tidak hanya dinikmati oleh pemodal besar, Presiden Joko Widodo
(Jokowi) meminta agar perusahaan yang sudah go public melaksanakan program distribusi kepemilikan saham bagi para karyawannya.
“Dengan cara ini saya yakin akan
menghadirkan sebuah generasi investor baru di pasar modal Indonesia,”
kata Presiden Jokowi saat menghadiri ulang tahun ke – 38 Pasar Modal
Indonesia di Gedung Bursa Efek Indonesia ( BEI), Kawasan SCBD Jakarta,
Senin (10/8).
Selain meminta distribusi kepemilikan
saham bagi karyawan. Jokowi juga dalam mewujudkan demokrasi ekonomi,
meluncurkan program sertifikasi lahan untuk petani dan nelayan. Hal ini
dapat kita lihat seperti yang dilakukan di Kabupaten Brebes.
Pemerintah meluncurkan Program Aksi
Sinergi untuk Ekonomi Rakyat di Brebes, Jawa Tengah yang diharapkan bisa
mengatasi masalah perekonomian. Program sertifikasi tanah menjadi
pijakan awal.
Presiden Joko Widodo mengatakan selama ini
masing-masing pihak melakukan kerja sendiri-sendiri untuk
menyelesaikan masalah perekonomian rakyat.
Kini dia menginginkan berbagai pihak
bersinergi untuk menyelesaikan masalah ekonomi rakyat melalui program
Aksi Sinergi untuk Ekonomi Rakyat di Brebes.
Program sertifikasi lahan menjadi pijakan
awal proyek tersebut. Menurut dia, sertifikasi lahan menjadi aspek
penting bagi petani dan nelayan dalam mengakses kredit perbankan. Rakyat
membutuhkan sertifikat lahan untuk dijadikan agunan dalam mengambil
kredit.
Dan baru-baru ini Presiden Joko Widodo
(Jokowi) kembali membagikan sertifikat tanah milik masyarakat.
Sertifikat ini penting untuk meningkatkan taraf hidup dan perekonomian
masyarakat khususnya para petani. Selainbisa dijadikan alat kuat ketika
menghadapi sengketa. Sertifikat tanah tentu saja dapat memperlancar
ekonomi kerakyatan, karena rakyat tidak perlu lagi berurusan dengan
linternir ketika hendak mengembangkan usahanya, karena sudah dapat
bekerjasama dengan Bank seperti dalam mengambil kredit yang bunganya
tidak seperti bunga para linternir.
“Sertifikat lahan ini jadi harapan
masyarakat, kadang orang kalah di hukum karena tidak memiliki
sertifikat,” ujar Jokowi saat pembagian sertifikat lahan, Jumat (9/6).
Kebijakan ekonomi kerakyatan adalah salah
satu yang diteriakkan Jokowi ketika kampanye 2014, dan hal ini
benar-benar diwujudkannya. Jokowi sudah menjalankannya dengan pelan tapi
pasti serta memberikan bukti dilapangan realitas kehidupan bangsa.
Perhatiannya yang begitu besar terhadap pasar tradisional, petani,
nelayan dan sektor ekonomi lainnya. Program serta kebijakan mengurangi
beban rakyat miskin melalui Kartu Indonesia Pintar dan Indonesia
Sejahtera termasuk kesederhanaan sikapnya serta membangun infrastruktur
guna memperlancar jalannya roda ekonomi yang merata, menjadi faktor
bahwa Jokowi yang paling pas dengan komitmen ekonomi kerakyatan seperti
cita-cita bangsa pasca kepemimpinan Soekarno.
Dalam tulisan ini belum bicara soal
produksi ikan yang meningkat dengan ditenggelamkannya kapal pencuri,
mulai minimnya ilegal logging dan pembakaran hutan dibanding rezim
sebelumnya, pemberian satu juta domain gratis untuk mengembangkan UMKM,
menjaga kestabilan stock pangan, meningkatkan etos kerja birokrasi dalam
melayani, membangun irigasi dan bendungan, menyiapkan lahan produksi,
dst. Yang semua ini adalah untuk demokrasi ekonomi atau ekonomi
kerakyatan.
Dari melihat realita dan opini singkat
diatas, maka masyarakat kontemporer urban hendaknya tidak terjebak
dengan siasat oligarki yang menggunakan sentimen agama dan politik
identitas. Seperti yang terjadi belakangan ini. Mari berlaku adil sejak
dalam pikiran, dan bentengi diri dengan melihat dan merasakan setiap
peristiwa dilapangan realitas dengan objektif.
Indonesia tidak akan raya, jika jiwa
nasionalisme harus digadaikan pada kepentingan kelompok radikal yang
mengatasnamakan agama, Indonesia akan semakin raya jika adanya demokrasi
ekonomi yang merata dan menyentuh sampai masyarakat bawah yang kini
mulai diwujudkan oleh Jokowi.
KOMENTAR