Sikka - Dalam kegiatan Seminar Nasional Human Trafficking bertempat di aula St. Thomas Aquinas Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Sabtu (6/5/2017) Sri Palupi,M.Pd menyampaikan hasil riset Institute for Ecosoc Rights dihadapan sekitar 500 orang civitas akademika STFK Ledalero, Pimpinan Biara/Konvik, dan perwakilan LSM TRUK-F mengatakan bahwa Provinsi NTT di Tahun 2016 menempati urutan 9 Provinsi pengirim TKI terbesar Indonesia dengan kontribusi sebesar 2.357 orang setelah Provinsi Jabar, Jateng, Jatim, NTB, Lampung, Sumut, Bali dan Banten.
“Masyarakat NTT punya persoalan terkait perlindungan
perempuan sehingga NTT menjadi salah satu sumber terbesar korban perdagangan
orang” ujarnya.
Peneliti dan Pendiri Institute for Ecosoc Rights.,Sri
Palupi, M.Pd juga menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara sumber, transit
dan tujuan dari tindak pidana perdagangan orang dimana berdasarkan laporan yang
dimiliki dari Tahun 2007 s/d 2016 dalam pemberantasan perdagangan orang, posisi
Indonesia tidak beranjak dari Tier 2.
Sri Palupi melanjutkan “Indonesia belum sepenuhnya
memenuhi standard minimum pemberantasan trafficking, masih lemah dalam
perlindungan korban dan lemah dalam pencegahan trafficking sehingga disimpulkan
Pemerintah Indonesia belum serius menunjukkan komitmennya memberantas
trafficking.
Laporan IOM 2015, Indonesia merupakan negara dengan
korban perdagangan orang tertinggi nomor 3 didunia dimana penyelundupan orang
merupakan kejahatan dengan nilai keuntungan terbesar ketiga setelah
penyelundupan senjata api dan peredaran narkoba”.
Korban trafficking kebanyakan berasal dari keluarga
miskin; mayoritas korban adalah perempuan; pendidikan dan informasi minim; punya
masalah dalam keluarga termasuk KDRT; putus sekolah; dan sebagian terjebak
utang.
Sedangkan Kondisi yang menyuburkan trafficking di
Indonesia ungkapnya yakni masih lemahnya sistem hukum dan
komitmen aparat penegak hukum dalam penegakan hukum dimana dalam penanganan korban trafficking lebih memilih menggunakan KUHP
dari pada undang-undang tindak pidana perdagangan orang dengan alasan
hukumannya terlalu tinggi.
Para pelaku trafficking semakin lihai dalam
mencari celah memanfaatkan kelemahan aparat, sehingga aparat kian sulit mendeteksi pelaku
dan korban trafficking di titik-titik kumpul, seperti pelabuhan, terminal dan
bandara dimana
para pelaku telah mengubah strategi dalam membawa korban trafficking secara perorangan.
Hasil riset pihaknya bahwa para Calo TKI di indonesia
berasal juga dari Perangkat Desa dan Tokoh Masyarakat setempat.
Sri Palupi, M.Pd saat menjawab pertanyaan peserta
kegiatan mengatakan wilayah NTT termasuk wilayah yang terbesar korupsinya namun
jarang terungkap akibat adanya ikatan kekeluargaan yang sangat kuat.
Berdasarkan analisis pihaknya terhadap APBD
Kabupaten/Kota terdapat cukup besar anggaran yang masuk ke instansi vertikal
yakni kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sehingga dapat diduga arahnya kemana.
Terkait banyaknya kasus kekerasan yang dialami TKI dan
tidak adanya upaya penanganan yang serius dari pemerintah dikhawatirkan
terjadinya imun/rasa kebal karena menganggap kekerasan itu sudah menjadi hal
yang biasa dan sangat berbahaya jika hal ini terjadi.
Sri Palupi melanjutkan “Kelemahan yang tidak pernah
diatur dalam undang-undang yakni larangan bagi pegawai pemerintah atau aparatur
negara termasuk DPR/DPRD untuk terlibat didalam bisnis penempatan buruh migran
atau bisnis penempatan TKI.
“Hak orang untuk bergerak, bertindak dan bekerja tidak
dibatasi namun hak tersebut perlu disertai dengan perlindungan yakni pemberian
informasi” ujarnya.
Sementara itu Alexander Jebadu mengatakan “Warga
masyarakat tidak dilarang untuk merantau demi meraih kehidupan yang lebih baik
namun perlu diperhatikan adalah dibekali dengan pendidikan dan keterampilan seperlunya
serta kepemilikan dokumen yang lengkap dan sesuai aturan”. (Kris)
KOMENTAR