Sebelum Pilkada serentak dimulai dan
sesudah Pilkada tersebut berlangsung, suhu politik Indonesia tetap saja
memanas, hal ini lahir karena isu agama yang dihadirkan ditengah pesta
demokrasi, ini bukan saja menyebabkan perpecahan masyarakat tetapi juga
“kejiwaan”. Karena sejatinya manusia politik bukan saja soal badan dan
pikiran tetapi juga jiwa.
Setiap orang yang mengaku Warga Negara
Indonesia (WNI) tentunya harus sadar bahwa negara tempat dia lahir,
tumbuh, berdiri dan berpijak merupakan sebuah negara kesatuan, dan
kesatuan tersebut dari kemajemukan dan keberagaman, yang menjadi kuat
hingga membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara.
Kelompok fundamentalis yang tumbuh di
Nusantara, hilang kesadarannya akan kesatuan dari kemajemukan, dan hal
ini lah yang saya sebut bahwa pilihan dalam politik Indonesia bukan lagi
mengenai soal yang realistis atau pun rasional, melainkan juga
“emosional” dan “kejiwaan”.
Dapat kita lihat seperti Jonru, Marisa,
Rizieq, Buni Yani, dan simpatisan kelompok fundamental yang bahkan
menyebut diri sebagai alumnus 411, alumni 212. Bahkan yang paling parah
Tamasya Almaidah. Jika “kejiwaan” dikatakan penyakit dalam hal ini,
tentunya dibutuhkan “penyembuhan”.
Tak hanya nama-nama diatas, bisa kita
lihat juga nama seperti Fahri, Fadli, bahkan Amien Rais. Yang mana bukan
bertindak untuk meluruskan sebagai DPR ataupun politisi, tetapi justru
memperkeruh polemik. Bayangkan saja, bagaimana tidak dikatakan
“kejiwaan” jika menganggap TKI sebagai “babu”, jika menganggap Cagub
sebagai “dajjal”, jika menganggap orang yang memberi bunga sebagai
pencitraan.
Hal-hal semacam ini hanya secuil dari
fenomena yang terjadi, banyak yang lebih parah lagi bahkan bisa
dikatakan seperti kehilangan “akal sehat”.
Mereka lupa, bahwa Indonesia bukanlah
negara federal, liberal, bukan juga negara monarki / kerajaan, serta
bukan pula negara militer, yang paling digaris bawahi adalah juga bukan
negara dalam satu agama. Jika ini lupa, maka kata yang tepat untuk
orang-orang yang melupakannya adalah sakit “kejiwaan”.
Beda pilihan dalam politik, itu hal yang
biasa dan bahkan sangat wajar. Akan tetapi dalam Pilkada DKI misalnya,
perbedaan itu bukan lagi menjadi keindahan dalam demokrasi, melainkan
kebencian dan permusuhan yang hingga sekarang masih saling “serang”.
Kenapa? Karena salah satu kubu mempunyai tujuan akhir yaitu keseragaman.
Dan kelompok ini lah yang sedang menderita “kejiwaan” karena mereka
lupa apa itu dasar negara dan mereka sangat takut dengan keberagaman.
Hemat saya, bahwa mereka yang “lupa”
tersebut dianjurkan untuk membentuk negara baru atau sederhananya
silakan keluar dari wilayah NKRI. Alasannya jelas karena Indonesia
merupakan kesepakatan bersama the founding fathers and mothers bangsa
ini ketika Indonesia merdeka dari para penjajah dan diproklamasikan pada
17 Agustus 1945, oleh Soekarno-Hatta.
Kesepakatan ini juga tentunya tidak
menegasikan keberagaman Nusantara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
So, yang menghendaki syariah, khilafah ataupun pemurnian / keseragaman,
lebih baik keluar dari NKRI dan bentuklah negara sendiri.
Salah satu keunikan dari kelompok Muslim
di Indonesia adalah kemampuannya menyelaraskan antara ke-Islam-an dan
demokrasi. Juga hal menarik lainnya adalah bahwa kunci penyelarasan
tersebut tidak lain adalah Pancasila. Karena Indonesia bukan Arab, bukan
pula monarki.
Saya menyepakati pernyataan dari Kang
Sobary, bahwa kezaliman dalam politik sama saja dengan kezaliman dalam
ekonomi dan kebudayaan, yang mematikan kemanusiaan, keadilan dan
kebenaran.
Tambahnya, jika tatanan sudah dibikin
rusak, jiwa-jiwa sudah mati dan ketulusan serta kejernihan hati tidak
mudah lagi untuk ditemukan. Dimana para pemimpin agama dan umat yang
marah, apa yang akan diajarkan kepada dunia?, lanjutnya, dimana
keserakahan, mau menang sendiri, mulia dan kaya tanpa kerja dan
keringat, yang sangat jauh pada keteladanan Rasul yang jelas.
Sehingga sebagai tugas utama negara
seperti terbaca dalam Preambule UUD 1945 sangat jelas, yaitu
mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan ungkapan lain,
tugas utama negara adalah mengeliminasi kemiskinan dan kebodohan
(illiteracy), dan selanjutnya berusaha membuat seluruh warga, khususnya
yang terpinggirkan menjadi sejahtera dan cerdas.
Sangat ironis jika ada seorang pemimpin
yang mulai menjalankan amanah UUD 45 meski belum sempurna seperti
membangun ruang publik, membuat jaminan pendidikan murah berkualitas,
jaminan kesehatan, sosial, dan seterusnya, yang semua itu untuk
masyarakat luas, harus disingkirkan karena hanya soal keyakinan. Bahkan
dituduh antek comunis. Lebih parahnya lagi terus dihujam dengan
kebencian bahkan di demo seperti tanpa henti. Apalagi semua ini kalau
bukan “kejiwaan” sekaligus “keserakahan”.
Jika Rizieq Shihab memiliki massa akar
rumput yang banyak seperti klaim berjuta massa aksi, maka sangat
dianjurkan sebaiknya keluar dari NKRI dan bentuklah negara sendiri,
khilafah seperti yang diinginkan.
Mungkin kita tidak lagi melihat kelompok
fundamental di Nusantara ini adalah sebagai sebuah pilihan semata,
tetapi mulai melihatnya sebagai suatu gangguan mental, hal ini betapa
banyaknya sesuatu yang irasional dilakukan.
KOMENTAR